Ini bukan cerita tentang erotisme atas hal-hal yang membusung pada diri perempuan. [caption id="attachment_142401" align="alignright" width="292" caption="Busung tidak baik"][/caption] Tidak juga tentang kebahagiaan seorang suami yang akan menerima penghargaan sebagai seorang ayah disebabkan ada sesuatu yang membusung di perut istrinya. Ini obrolan ringkas saja tentang busung. Iya, demikian itu terawali dari status Facebook seorang rekan, Iskandar Zulkarnaen. Status yang kemudian menjadi obrolan kecil. "Selamat, setidaknya ada sisi positif juga: bangsa kita bisa bebas dari berbusung dada" "Soalnya banyak yg busung lapar Bung Zul..." Obrolan ringan setelah saya timpali status sahabat ini yang mengeluh dengan bahasa paling lembut atas kegagalan Indonesia tadi siang di Thomas Uber Cup yang gagal diuber.
***
Dada dan perut itu dekat. Busung dada cenderung dipandang sebagai sebuah kelemahan, menjadi cermin ketidakmampuan menyikapi secara wajar sebuah keberhasilan. Dan, saya menyebut kegagalan peserta bulu tangkis dari Indonesia itu sebagai sebuah keuntungan juga. Jelas, pertimbangan saya sederhana saja, bahwa tidak selamanya persoalan kesempatan berbusung dada itu menjadi satu hal yang penting. Ah, tetapi tidak serta merta kemenangan menjadi alasan sekedar untuk berbusung dada. Bisa jadi prestasi itu, andai bisa ditoreh prima di sejarah olahraga yang sejak lama dikuasai bangsa ini, benar-benar untuk mengangkat nama bangsa. [caption id="attachment_142405" align="alignleft" width="300" caption="Ini juga busung, tetapi kurang menarik perhatian sepertinya"][/caption] Tetapi, kembali soal mengangkat nama bangsa juga berkait pula dengan soal mengangkat walau hanya dada. Karena untuk sekarang terlalu banyak yang busung lainnya yang perlu untuk juga mendapat prioritas agar lebih terperhatikan. Busung lapar seperti yang disebut rekan tadi. Busung angka yang bersanding dengan kemiskinan. Busung statistika terkait dengan pengangguran. Busung jumlah masyarakat yang termarjinalkan. Sepertinya terlalu dipaksakan saya bicara tentang busung. Namun begitu saya ingin katakan semua busung itu juga terpaksa. Letak hubungannya? Terlalu panjang kalau misal saya menjelaskan perihal relasi semua busung itu. Tapi memang semua busung itu terpaksa karena memang demikian adanya, kalau mengutip salah satu guru saya yang sudah tua dulu, satu tambah satu sama dengan dua, jangan tanya lagi dua itu dari mana. Terpaksa karena mereka yang harus busung lapar tidak berkesempatan untuk berpikir agar bisa untuk berbusung dada. Terlalu busung dada juga bisa berakibat busung lapar terus merajalela. Mau apalagi, karena busung dada itu seringkali membuat kita serasa berjalan di atas awan. Jengkal-jengkal tanah yang terpijak seringkali tidak pernah lagi kita lihat. Karena mata sudah begitu tenggelam melihat bintang yang jauh di sana. Sedang di sini, tanah-tanah tidak bisa memberikan jumlah padi, singkong atawa jagung karena mata tidak pernah lagi meliriknya. Maka, tanpa memperpanjang ekskplanasi tentang korelasi antara busung dada dengan busung lapar, kita iyakan saja bahwa sekarang tidak terlalu penting untuk busung dada agar tidak ada lagi anak negeri yang busung lapar. Satu lagi, saat memilih pemimpin, syahdan untuk mencalonkannya juga jangan dilihat dari membusung tidak dadanya agar tidak berakibat buruk sampai rakyat kian banyak yang busung lapar. (ZA) Sumber Busung: Di sini dan di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H