Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hilangkan TKI

1 Mei 2010   12:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_130877" align="alignleft" width="300" caption="Semangat mereka menyala"][/caption] Terasa tidak berperikemanusian. Tidak ada respek. Sama sekali tidak menyiratkan penghargaan terhadap lelaki dan perempuan yang terpaksa mengais rezeki di luar negeri. Perasaan demikian bisa muncul jika hanya melihat judul saja dari tulisan ini. Karena konotasinya bisa menjadi sebuah kesimpulan bahwa TKI tidak dibutuhkan. Tapi, tunggu dulu, saya mau bicara selagi masih bisa. Agar tidak ada luka dan ini juga tidak dipandang sekedar canda. Melainkan sebuah bentuk keterharuan anak negeri yang masih berkesempatan untuk menetap di Nusantara yang begitu indah ini. Iya, keterharuan yang begitu besar atas mereka yang berjiwa pejuang dan dihargai hanya dengan sebuah gelar: TKI. Sekaligus rasa miris, karena lepas dipercaya atau tidak, diakui atau tidak, masih banyak masyarakat yang memandang sebelah mata atas keberadaan para pejuang devisa itu. Padahal mereka keluar negeri acap harus bermandi airmata. Mengutip istilah Rustan Ambo Asse, mereka kerap dipersepsikan sebagai masyarakat kasta sudra, kasta terendah dalam sistem kasta Hindu.

***

Memang, belum ada yang bicara di koran-koran dan media lainnya bahwa mereka ini hina dan semacamnya. Tetapi menarik menyimak komentar seorang TKI yang juga kerap menulis di salah satu blog:...menjadi TKI. Aku hanya bersiap menerima tatapan yang merendahkan dengan cara tak berperi. Tatapan yang tak pernah kuyakin itu datang dari putihnya hati. Demikian kira-kira yang bisa saya bahasakan ulang dari kalimat yang pernah saya baca dengan trenyuh, tulisan seorang TKI yang meluapkan perihnya ke dalam kata-kata. Tetapi, mereka tidak sedang menghiba. Justru mereka membuka sebuah realita, seperti apa warna mata sekian banyak anak manusia. Mata yang hanya membiru ketika berhadapan dengan orang-orang kaya berdasi dilengkapi mercy [sebutan membiru mengutip istilah Aceh untuk menyebut orang-orang yang hanya melihat ke atas: ijoe mata cit watee leumah peng]. Maka, di sini saya mengajak bangsa ini mengaca diri untuk tidak pernah menomorduakan manusia, apapun peranannya. Kembali ke topik obrolan. Dari situ saya malah terpikir, kenapa harus ada penamaan TKI demikian? Mengulik-ngulik berbagai referensi yang masih bisa saya jangkau, pengistilahan dengan menyingkat demikian lebih banyak menunjukkan ulah kemalasan aparatus pemerintahan, perlahan menjadi senjata yang membuat sekian manusia direndahkan. Sekarang? Coba lihat sekali lagi, apakah negeri ini menghormati mereka? -------- Surat cinta untuk pejuang di rantau orang. Dedikasi untuk saudaraku di luar negeri sebagai bagian dari partisipasi atas Hari Buruh. Aku tidak ingin sebut kalian TKI, tetapi lebih suka kusebut sebagai Pejuang. --------------------- Gambar: Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun