Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Bunuh Diri dari Jepang

27 September 2010   17:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_271471" align="alignleft" width="300" caption="filmforum.org"][/caption] Aha! Untuk belajar bunuh diri seharusnya memang tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Selain soal harga tiket dan berbagai biaya kebutuhan ke sana terlalu mahal untuk ukuran kantong Anda yang kebetulan mungkin mirip kantong saya, pun alasannya terasa begitu tidak penting: bunuh diri. Tapi tidak begitu. Saya sedang tidak menggagas kita yang sudah dipercayakan Tuhan selembar nyawa untuk malah menyia-nyiakannya dengan cara menghilangkan sendiri. Meski mungkin koran-koran masih sering menjadikan berita bunuh diri sebagai bagian penarik agar (ruang) iklannya dilirik. Justru saya hanya sedang usil melirik sebuah tradisi yang dipandang sebagai suatu yang sudah begitu melekat dengan masyarakat Jepang. Iya, bunuh diri itu tadi. Ada rahasia apa dari sana? Kenapa mereka dalam keadaan kalah bisa merasakan mati dengan bangga sedang cara yang diambil adalah menusukkan samurai ke tubuh dan mengoyaknya sampai darah muncrat tidak hanya dari perut itu sendiri, tetapi juga dari mulut dan hidungnya. Kenapa malah masyarakat sekaliber Jepang sampai hari ini masih pertahankan itu? Saya mencoba untuk tidak langsung menuduh mereka sebagai bangsa yang berpikiran dangkal, karena pada yang terlihat bangsa kita sendiri yang 'tidak dangkal' justru masih butuh waktu seratus tahun lagi untuk bisa sejajar dengan mereka. Hanya saja, mencoba mengulik. Izinkan saya kali ini untuk menjadi sok tahu. Bahwa nyawa itu tidak pernah lebih penting dari harga diri. Hidup tidak perlu dipertahankan ketika kemudian tidak lagi bisa membuat diri berprestasi. Dan dalam kesok-tahuan saya itu, saya kira itu menjadi bagian alasan mereka memilih mati bunuh diri. Maka, saya juga bunuh diri. Tidak perlu ke Jepang, dan tidak dengan cara Jepang. Cukup sendiri saja dengan sesekali mengikhlaskan diri perlihatkan ketololan, kedunguan karena memang itu masih ada di dalam diri. Mengajak orang untuk ikut bunuh diri? Sama sekali bukan niat saya, tidak terbetik sedikit jua keinginan untuk seperti itu. Bisa jadi saya kalau saya katakan demikian, sekian banyak sorot mata yang tertuju ke saya barangkali senada dengan ketika mereka berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa dan melihat orang-orang yang ketawa, diam dan menangis sendiri. Pun, tanpa bermaksud menuding bahwa kebanyakan orang yang kutemui adalah orang-orang yang memiliki kemampuan menyelam setiap makna lebih secara terbatas, tetapi memang siapa berani pastikan kalau ajakan demikian tidak diterjemahkan dengan menghilangkan nyawa. Padahal, bunuh diri itu memang penting, hanya saja tanpa perlu peluru, sangkur, belati, samurai atau apa pun. Tetapi dengan jujur. Sebuah sikap yang diyakini banyak orang sebagai penyebab kematian, karena harus menunjukkan diri apa adanya. Tanpa perlu takut menunjukkan kelemahan ketika memang itu adanya. Jika kemudian malah ada yang memanfaatkan kelemahan itu oleh mereka yang berhati hasut karena lama terbiarkan bernanah, tanpa mereka pernah berusaha obatinya, Tuhan sendiri yang akan menamparnya terjatuh pada tempat yang semestinya. Nah, selama ini kita begitu mengagungkan nyawa, tetapi sudah tidak tahu seperti apa sebenarnya mengagungkan Tuhan. Padahal Ia menginginkan orang-orang yang 'mati' saja untuk bisa berada di pusaran cinta utama-Nya. Sedang mereka yang inginkan 'hidup', dari yang saya perhatikan takkan pedulikan soal harga diri karena sudah terjual dengan butir-butir nasi. Tak pedulikan soal nurani karena sudah diludahnya bersamaan dengan orasi. Melupakan berbagai janji karena dilumat oleh obsesi. Tuhan saja sudah terlalu jauh dibelakangi, bagaimana bisa ia hargai diri ke mana-mana membawa sekantung tahi?

***

Yang hidup hanya orang-orang mati Sedang yang mati adalah orang-orang hidup Bagaimana hidupkan yang mati bisa dilakukan jika yang menghidupkan tidak hidup?

***

Aha, semoga racauan saya ini bisa cukup menjelaskan 'kematian' yang saya sirat-siratkan saja, karena memang tidak memiliki kecukupan kemampuan otak untuk bisa membuat semua menjadi tersurat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun