[caption id="attachment_269866" align="alignleft" width="300" caption="Jika harimau ini juga bermain di halaman rumah Anda? (Gbr: harimaukita.blogspot.com)"][/caption] "Bek kheuen-kheuen nyeung meubagoe-bagoe keu Nek ngoen Teungku Rayeuk." Kalimat ini menjadi wanti-wanti untuk ureueng gampoeng di Aceh, sebagai sebuah adab berinteraksi dengan dua jenis binatang bernama macan dan gajah. Dan, dalam kesederhanaannya, ureueng gampoeng--sebutan untuk penduduk desa di Aceh--akan mengiyakan petuah itu. Apalagi, pekerjaan yang akrab mereka tekuni cenderung lebih banyak berhubungan dengan hutan. Petuah ini menjadi cara turun temurun untuk keselamatan mereka di hutan. Berikut catatan saya tentang tradisi unik berbentuk etika ureueng Aceh dalam hubungan mereka dengan penghuni hutan: Sampai saya remaja, masih bingung sendiri melihat kebiasaan aneh penduduk gampoeng di Aceh. Awalnya, dari penyebutan 'Nek' dan 'Teungku Rayeuk', karena kedua penyebutan itu pada dasarnya merupakan gelar yang umumnya diberikan kepada manusia. Nek sebagai sebutan untuk perempuan sepuh, atau untuk ibu dari orang--selain sebutan lain, semisal: mak doeng, mak tuha--yang juga menjadi sebutan penghormatan, biasanya mereka memang lebih disegani dan kerap dijadikan sebagai penasehat dalam keluarga. Sedang Teungku, umumnya merupakan gelar yang diberikan untuk ureueng Aceh yang paham tentang ilmu keagamaan secara mendalam, bisa diandalkan sebagai rujukan untuk setiap hal yang berhubungan dengan keislaman. Lha, ini malah diberikan pada kedua binatang buas. Kenapa? Dari sana, setiap saya memiliki kesempatan untuk menyambangi gampoeng-gampoeng yang tidak jauh dari kota kecil saya, Jeuram. Saya coba untuk bertanya kepada ureueng tuha (tetua desa), tentang asal muasal dari penyebutan dimaksud. Dan, saya akui, tidak semua ureueng tuha paham tentang muasal dari penyebutan demikian. Syukurnya, rasa penasaran tinggi yang menjadi bagian kepribadian saya memberi buah juga, ketika kemudian saya bisa mendapati penjelasan tentang alasan kenapa gelar untuk manusia itu bisa 'berhijrah' kepada binatang. [caption id="attachment_269871" align="alignright" width="300" caption="Binatang juga mengenal keramahan (Gbr: justinbali.com)"][/caption] Bukan menyamakan manusia dengan binatang, atau ingin merendahkan manusia seperti laiknya binatang. Namun, ada banyak alasan tentang pemberian 'gelar' tersebut. Pertama, adanya keyakinan pada masyarakat bahwa binatang memang tidak bisa mengerti bahasa manusia, tetapi mereka bisa paham 'rasa' dari apa pun kalimat yang diucapkan, karena meski binatang tidak berakal namun mereka memiliki jiwa yang bisa mengecap ruh dari bahasa itu. Kedua, keyakinan bahwa setiap yang baik, meski hanya berupa kata-kata tidak hanya bisa dirasakan oleh manusia, tetapi termasuk semua yang hidup. Jadi kata-kata yang baik dipercaya bisa menjadi penangkal dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Maka tak heran, ureueng gampoeng yang paham tentang etika demikian, meski kerap mencari rezeki mencari rotan atau menderes karet di hutan yang sering dilalui harimau dan gajah, tetapi mereka bisa selamat. Binatang tersebut samasekali tidak tertarik mengganggu mereka. Jika kebetulan pun misal berpapasan dengan dua jenis binatang buas yang terkadang melenggang sampai ke perkampungan penduduk itu, maka masyarakat yang mengerti 'etiket' itu tidak akan memilih lari. Tetapi mereka lanjutkan saja perjalanan, sambil mengucapkan kalimat,"Bek neuganggu kamoe. Kamoe mita raseuki, gata mita raseuki. Kamoe keuneuk jak bak uteuen Tuhan nyoe." Yang kira-kira berarti, jangan ganggu kami karena kami mencari rezeki seperti engkau juga mencari rezeki. Kami ingin pergi ke hutan ini. Tidak masuk akal, tapi kerap dibuktikan ureueng Aceh macan atau gajah yang mereka temui itu berjalan saja tanmpa mengganggu sedikit pun. Kalau untuk kedua binatang ini diberikan gelar khusus sedemikian rupa. Tetapi ada kebijaksanaan lain yang juga diajarkan ketika berhadapan dengan berbagai binatang buas lain, misal jangan bersumpah atau menyumpahi binatang seperti buaya. Contoh kasus, sekitar setahun lalu di Woyla, seorang gadis yang baru tumbuh ranum laiknya bunga yang menarik perhatian. Ia ingin dilamar oleh seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya, sampai kemudian ia berujar,"bah kee dipajoeh lee buya meunyoe kumeukawen ngon agam nyan." (Biar aku dimakan buaya saja daripada aku harus dikawini lelaki itu)." Selang seminggu, gadis ini diterkam buaya saat sedang mencuci di sungai dan berita kematiannya berhari-hari menghiasi halaman koran di Aceh. Dan, terkait hal-hal seperti ini, bisa saja di alam pikiran modern sudah tidak dipercaya lagi. Hanya saja saya sendiri melihat ada kebijaksanaan tersirat dari pesan dan pelajaran sikap dalam berhadapan dengan alam seperti itu. Tidak masuk akal? Tidak semua yang masuk akal bisa memperpanjang usia ketika saat ini Anda sedang berada di hadapan binatang itu bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H