[caption id="attachment_25303" align="alignleft" width="300" caption="Karya salah satu Siswa Smansa Meulaboh, Hisbah yang dimuat di Majalah Cerdas"][/caption]Tanpa harus menggurui dan tanpa harus berniat untuk disebut guru, seorang penulis bisa menjadi guru untuk dunia.
Itu kalimat yang muncul di suatu pagi saat sedang mengusap sabun ke setiap inci tubuh. Iya, kalimat itu muncul karena selalu muncul perdebatan didalam diri sendiri. Kenapa harus menulis? Kenapa menjadi penulis? Dan pertanyaan itu juga yang sering dipertanyakan oleh beberapa sahabat yang 'anti' dengan kegiatan itu. Bahkan dalam keluarga, saya acap menerima berbagai macam vonis yang sebenarnya tidak mengenakkan,"apakah dengan menulis itu hanya untuk sekedar kau disebut cerdas, disebut pintar?"
Kalimat seperti itu, tertangkap di pikiran buruk saya,"kau goblok, bodoh."
Apalagi saat mendengar celotehan cerdas seperti,"sekarang ini yang paling penting adalah mencari duit sebanyak-banyaknya, dengan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menghasilkan daripada menulis terus seperti kamu, untuk beli pakaian saja kamu 2 tahun baru bisa beli sekali." Disebutkanlah si pulan dengan mobil dan tanah yang telah berhasil dibeli, si Anu yang telah beristri dan bahagia,"Kau asyik saja dengan beli buku dan buku. Apa nanti mau kau berikan buku sebagai mahar untuk calon istrimu. Memang ada cewek goblok yang mau untuk kau nikahi hanya dengan mahar buku?" Kalimat itu memang saya akui sangat pedas untuk didengar. Tetapi memang itu yang pernah singgah dikuping dan ditujukan untuk saya sendiri.
Bukan membalas dengan kemarahan, tetapi justru saya hanya tunjukkan prinsip yang saya miliki,"lebih baik saya lakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana, tetapi saya mencintai pekerjaan itu. Daripada saya menjadi seorang konglomerat, namun tidak saya cintai pekerjaan itu. Menulis membuat saya lebih punya ruang untuk keikhlasan. saya tulus dengan ini semua." Biasanya saya suka menegaskan dengan kalimat seperti ini. Ujung-ujungnya yang sering saya terima adalah,"kau terlalu keras kepala!!!"
Terkadang mengingat itu semua muncul perasaan miris. Bahkan sedih tentu saja. Tetapi, lagi saya ingat ikrar diri sendiri, "lakukan pekerjaan yang betul kau cintai."
- ***
Itu sekedar gambaran subjektif yang saya alami sendiri. Jika boleh jujur, memang belum semua media di nusantara ini tersinggahi oleh tulisan-tulisan saya itu. Tetapi, ini cinta, ini semua saya lakukan dengan cinta. Saya merasakan kebahagiaan yang tidak sebanding dengan uang jutaan yang ada di kantong, saat terdapat beberapa sahabat yang mengatakan,"saya merasa lebih hidup dengan tulisanmu. Aku menemukan diri sendiri kembali."
"Tidak terbetik untuk disebut guru, tidak terniat untuk disebut sebagai orang cerdas. Tetapi, ketika saya bisa masuk dan menyapa jiwaku dan jiwa semua yang masih berjiwa, disana kutemukan kebahagiaan." Kalimat itu yang saya jadikan prasasti di relung-relung hati. Sehingga saat tergoda merubah kiblat, meniatkan tulisan hanya sekedar untuk mendapatkan uang, saya merasakan kematian. Iya, kematian ide, kematian inspirasi.
Dedicated to:
Peri Kecil Olive, Inge, Cindy, Vira, Mas Ibeng, Bang Andy Syoekry, Mbak Mariska Lubis, Mas Firman, Hadi dan Saudaraku Jimmosepi. Juga murid setia Zaldy Ogawa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H