Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sumpah di Negeri Maling

12 November 2009   11:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_24636" align="alignleft" width="225" caption="Membunuh maling dengan kata-kata yang kubisa"][/caption] Hanya dasi saja telah membuat seorang maling terlihat anggun dan berwibawa. Tutur kata yang diatur sedemikian rupa mampu membuat berjuta manusia terpukau. Pada saat yang sama, sebenarnya mereka tidak bangga pada diri sendiri. Berbagai macam topeng, dari buatan dalam negeri sampai made in luar negeri menjadi koleksi untuk dikenakan pada berbagai moment penting di negerinya. Ia bisa tersenyum seperti seorang Nabi. Siapa yang tak runtuh hatinya dengan senyuman seperti itu. "Bagiku, mereka berteriak dan memprotes dengan semua keberhasilanku itu, hanya dikarenakan mereka sejauh ini belum pernah mampu mendapatkan seperti yang kudapatkan." Begitu yang sering ia ucapkan sembari melonggarkan dasi yang hampir mencekiknya. Itu merupakan sebuah potret lain. Tapi tak jarang juga muncul laki-laki yang tak kalah berwibawa, biasanya juga dilengkapi dengan pengawal yang mengapit di kiri dan kanan. Langkah kaki yang begitu gagah, sorot matanya persis seekor elang, tajam. Setajam itu pula ia lontarkan berbagai fitnah dengan skenario buatan pakar luar negeri."Strategiku, skenarioku takkan bisa dipahami para sutradara perfilman yang ada di negeri ini. Makanya jangan heran, semua yang saya lakukan akan sangat sulit dipahami oleh mereka disini. Intelijen negeri ini juga masih kalah licik dengan saya" Ujarnya satu ketika dengan senyum. Maaf, aku tidak bisa menghafal namanya, terlalu lelah kepalaku untuk menghafal nama-nama maling. "Nuraniku masih cukup bersih untuk melihat yang salah dan benar, sepintar apapun engkau mengaduk-aduk kedua hal itu,"batinku sedikit angkuh Terus ia menambahkan juga,"untuk menjadi seorang maling jangan hanya mengandalkan keberanian doang. Coba pake ini," Ujarnya sambil menunjuk pada kepalanya yang memang bersih dari ketombe. Saat aku sedang melamunkan ketombe di kepalanya, dengan nada mengajak. Seorang rekanku berbisik,"ketombenya sudah pindah kedalam, jadi tidak akan muncul keluar seperti rambutmu." Aku coba nyengir saja sebagai pengakuan syukur karena ketombe dikepalaku masih bisa dilihat dari luar. "iya, biarlah ketombeku hanya ada diluar, tidak terlalu berat untuk membersihkannya. Dengan Shampoo satu sachet sudah cukup. Sedang mereka untuk bersihkan ketombe itu, mereka harus keluar negeri. Ke tanah suci untuk bersihkan semua ketombe. Sudah keluar duit banyak tetapi malaikat masih terus tertawakan mereka karena ketombe itu tidak mudah untuk dibersihkan"

***

Jujur, terkadang aku iri juga dengan mereka. Bukan karena mereka bisa memiliki mobil banyak seperti itu, tetapi karena mereka sering tampil di televisi. Nah, karena demikian banyak penduduk negeri ini yang hampir setiap malam duduk didepan televisi, aku berpikir para maling itu akan lebih mampu untuk memberi pengaruh mereka pada penduduk. Sedangkan aku malam kemarin bermimpi agar semua maling tidak terlahir lagi di negeri ini, dikerajaan ini. Tapi sepertinya mimpiku bakal berakhir jika televisi lebih suka menayangkan mereka. Sejak masih kecil puluhan tahun lalu, aku sudah menangis menghiba pada Tuhan. Meminta-Nya untuk kembalikan saja aku alam lain ditempat asalku. Tapi dengan bahasa-Nya, Ia seperti berucap,":kau turun kesana untuk ikuti jalan mereka menjadi seorang maling atau kau pasang badan untuk menjadi pembunuh. Iya, menjadi pembunuh para maling itu. Jika memang kau ngeri pada darah, cukup kau bunuh saja mereka dengan kata-kata. Karena dalam kata-kata juga bisa diaduk berbagai macam ramuan mengobati orang-orang yang punya hati. Sekaligus juga racun untuk mereka-mereka, para maling yang seharusnya mengisi tong-tong sampah itu." Saat ingin kuprotes, "...kenapa Kau beri mereka dasi, dasi itu membuat suara mereka lebih keras terdengar  bukan? Sedangkan aku hanya rakyat jelata." Kembali, dalam bahasa-Nya,"dengan menjadi rakyat jelata seperti itu, kau tidak akan bisa membeli pasta gigi, mulutmu bisa berbau. Bau mulutmu itu cukup mampu juga untuk membuat mereka terbunuh." "Sedangkan bila kau ingin berbicara dengan orang-orang yang masih memiliki nurani, memiliki hati, Aku punya caraku untuk memberi wangi ke seluruh rongga yang ada di lobang mulutmu itu. Tenang saja." "Dan ingat selalu. Untuk membunuh para maling itu, kau tidak perlu menjadi Nabi. Kau tidak butuh mu'jizat apapun. Tapi kau pergunakan sajalah semua yang kau miliki" Melihat masih begitu banyak maling berkeliaran, sepertinya aku belum berhasil memahami keseluruhan pesan-pesan dari-Nya itu. Baiklah, aku akan coba terus berkata-kata, dan membunuh mereka dengan bau mulut yang kumiliki atau dengan satu dua kata yang berhasil kuhafal dari buku-buku bekas yang berhasil kubeli pekan lalu. Meulaboh, 121109

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun