Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

15 Agustus: Setelah Darah Berhenti Tumpah

14 Agustus 2010   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:03 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_225601" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu tragedi yang paling membekas di ingatan masyarakat Aceh, Tragedi KKA (Repro: yahoogroups.com)"][/caption] Agustus di berbagai belahan lain di Nusantara mungkin lebih mengingatkan pada angka 17  yang menjadi tanggal sekaligus moment Soekarno dan Hatta kumandangkan Proklamasi pada 1945 silam. Lagu Indonesia bisa dinyanyikan sampai tiba pada lirik,"...tanah tumpah darahku," hanya terkenang darah pahlawan yang mengusir penjajah. Untuk Aceh, Agustus menjadi bulan sebuah sejarah terhentinya darah tumpah. 15 Agustus 2005, berkisar 8 bulan setelah sebagian pesisir Aceh diluluh-lantakkan tsunami, sebuah perjanjian damai di Helsinki ditandatangani. Saat itu, tinta sebatang pena untuk menandatangani sebuah perjanjian menunjukkan kekuatan untuk hentikan darah tumpah. Saya masih teringat, betapa saat menyambut perdamaian itu, masyarakat baik di gampoeng maupun di kota-kota di Aceh, masyarakat bersuka cita. Di berbagai tempat diadakan acara yasinan dan sujud syukur, mengisyaratkan begitu berharganya harga damai bagi masyarakat Aceh. [caption id="attachment_225615" align="alignright" width="206" caption="Saat berkunjung ke desa terpencil Aceh (Gbr: Zulfikar Akbar)"][/caption] "Setelah damai ini, kami bisa lebih leluasa untuk kembali ke ladang. Kami bisa kembali ke sawah dan bisa leluasa bekerja..." Cerita seorang kakek saat saya berada di Gunong Kong, salah satu kawasan terpencil di pantai barat Aceh. "Watee taingat masa prang, sang cit han habeh-habeh lee watee nyan." Jelas seorang ibu menggambarkan kesannya atas konflik Aceh yang dulu terasa seakan tidak bakal pernah berhenti lagi. Dan, wajah-wajah yang terlihat di hampir setiap jalan yang saya lewati ketika itu berisi senyum penuh kegembiraan. "Kiban han, dilee watee masa prang nyan. Bek takheuen tamita napeukah, untoek tajak u blang pih payah. Tajak u gunoeng mita kayee ka jipeugah bantu GAM, tabloe breueh lebih dari siare ka dikheuen keueneuek sumbang keue GAM." (Bagaimana tidak, dulu ketika masa perang itu. Jangankan untuk pergi ke ladang mencari nafkah, kemana pun tidak bisa. Kita ke gunung nanti dituduh membantu GAM. Beli beras sedikit banyak nanti dituduh menyumbang beras untuk GAM). Kenang Sabirin (45), salah satu warga di desa Krueng Bhee, Woyla Timur, Aceh Barat. "Saya teringat, dulu sempat dipanggil ke pos militer waktu beli beras satu goni. Sampai di sana, berasnya disuruh untuk simpan di pos itu, dan diminta untuk ambil seperlunya saja setiap hari di sana, karena dikhawatirkan beras itu saya sumbangkan untuk GAM. Tapi, memang jujur saja, waktu itu kita serba salah, GAM punya senjata, Polri dan TNI juga punya senjata. Kalau sudah berhadapan dengan mereka, kita terpaksa turuti apa yang dimauinya, tidak bisa menolak. Karena urusan sebungkus rokok pun bisa menjadi masalah nyawa..." terang Sabirin lebih lanjut. "Sekarang, lihat saja, dalam masalah rokok itu, ada warga yang tidak bisa menolak untuk memberikan rokok yang diminta oleh GAM. Nanti, ia malah yang mati tertembak karena dituduh bekerjasama dengan GAM. Begitu juga kalau kami bicara agak ramah sedikit dengan TNI/Polri, kalau diketahui mata-mata GAM, kami bisa saja dituduh sebagai cuak (mata-mata militer dari kalangan sipil) dan resikonya, kami juga bisa saja terbunuh." Sambung lelaki paruh baya itu lagi. [caption id="attachment_225603" align="alignright" width="278" caption="Malik Mahmud, Kalla dan Martti Ahtisaari (Gbr: Kaskus.us)"][/caption] Sekarang perdamaian itu sudah terjalin. Seyogyanya momentum 17 Agustus tidak membuat lupa pada tanggal 15 Agustus, karena selain 15 dan 17 itu adalah angka yang dekat dan sama-sama angka ganjil. Idealnya, perihal kedekatan ruh kemerdekaan dan ruh ingatan pada sejarah tidak diberikan jarak. Kealpaan pada sejarah, bukan tidak mungkin akan kembali menimbulkan gejolak yang tidak diinginkan pendahulu yang telah bersusah payah mengangkat senjata mendirikan republik ini dan terbebaskan dari penjajahan. Tidak di Aceh, bisa jadi di wilayah lain karena Bhinneka Tunggal Ika tidak menyuruh hanya melihat pada nilai Ika-nya melainkan juga kebhinnekaan. Dan, tak ada lagi penjajahan atas [caption id="attachment_225610" align="alignleft" width="300" caption="Mereka, semoga bisa mengenal lebih terang makna kemerdekaan dan lebih merasakan buah kemerdekaan (Gbr: Googleimages)"][/caption] rakyat. Karena jelas ketika pemerintah hanya membuat rakyat kian sengsara, jangan salahkan rakyat berkesimpulan bahwa pemerintah yang ada hanya perpanjangan tangan penjajah cuma warna kulitnya saja yang mungkin berbeda (tidak seberkilau kulit penjajah). Dan, lirik "...tanah tumpah darahku..." semoga tidak dijadikan dalil pembenar lagi untuk tumpahkan darah rakyat. Aceh, semoga menjadi catatan juga untuk pemerintah melihat daerah lain di bumi pertiwi ini. --------------- Sebagian dari nukilan dalam tulisan ini adalah pengalaman penulis saat bertindak sebagai Investigator di Pos Bantuan Hukum dan HAM

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun