[caption id="attachment_113070" align="alignleft" width="240" caption="Dalam gelap, yang menjijikkan akan terlihat berwarna sama dengan yang bersih. Maka yang bersih juga menjadi tidak memiliki arti, karena dikira sama saja dengan jamban yang dengan betah diduduki (Zulfikar Akbar)"][/caption] Jika para sufi mengagumi hati sebagai samudera tak bertepi. Sebenarnya sufi itupun adalah pecinta yang tahu setiap nada yang muncul di hati, dipetik oleh cinta serupa irama kecapi di sisi bukit penuh bunga. Tak ada mata lagi yang bisa terbuka ketika getarnya membahana sedemikian kuat. Tak ada telinga lagi yang bisa mendengar ketika gemanya sedemikian penuh utuh merasuk melewati angkuh tubuh. Syahdan, Gautama pun mengakui tak ada suara yang lebih indah selain suara seseorang yang dicintai. Iya, cinta ada pada lantunan ayat-ayat dari kitab suci yang berbicara tentang Tuhan yang selalu melihat. Cinta ada pada lonceng dan nyanyi gereja, di Vihara. Tetapi, betapa menyedihkan mereka yang masih bangga hanya dengan keberadaan logika saja. Sehingga abjad yang membentuk kata cinta saja sudah tidak bisa terbaca. Padahal, mereka, pada pemuja Tuhan itu sama sekali bukanlah orang-orang yang buta hati. Cuma matanya saja yang menyipit agar tidak terlalu banyak anasir cahaya lain yang menusuk bola matanya, tetapi hatinya tetap terbuka lebar. Mereka merasakan semua yang tak bisa dirasakan pemuja logika yang tak pernah bisa membuka pintu di dinding ego dan ketuhanan.
****
Sedangkan, pemuja logika, di benua seberang merasa gagah ketika ia sudah bisa menabuh genderang perang. Bukan di medan laga saja. Tetapi pada tangannya yang menjambak rambut istrinya. Menampar pipi pendamping hidupnya itu. Ups, tidak terhenti di sana, karena kekerasan tidak mengenal jenis kelamin. Terbukti, tidak sedikit lelaki memilih meloncat dari gedung-gedung tinggi berharap selembar nyawanya yang dihitung dengan matematika yang keliru, melayang. Sepertinya ia begitu yakin bahwa nyawa itu seperti uang recehan yang saat hilang, besok pagi bisa dicari kembali. Lelaki-lelaki itu mati mengenaskan, ah ternyata juga terjadi oleh istri. Pada tingkatan selain itu, ada pula sepasang remaja yang pejantannya melarikan diri setelah dengan seringai tersembunyi menggagahi perawan yang telah lelah dibesarkan ayahnya. Saat jalan-jalan tol di kotanya juga terkunci, ia malah meminta gadisnya untuk aborsi. Sampai tadi siang hal itu juga masih terus terjadi. Ini tragedi atau kematian nurani? Entahlah, aku hanya mengira dalam kesederhanaanku berpikir, bahwa itu semua terjadi karena ketiadaan cinta. Sebab, pelajaran cinta yang pernah diajarkan Tuhan pada Adam adalah cinta yang dituliskan dari air gemericik dalam syurga yang diambil Tuhan sebagai tinta untuk kemudian dituliskan di hati manusia. Tetapi, setelah kematian Adam, hanya beberapa anaknya saja yang membaca. Selebihnya memilih untuk berbangga diri untuk menjadi orang-orang buta. Padahal hanya berpura-pura buta. Entah geram, Tuhan pun benar-benar membutakan mereka. Maka, ibu-ibu menelantarkan anaknya, bahkan dengan tenang menempatkan bayi-bayi mereka dalam kantong kresek yang biasa digunakan untuk membeli sayuran di pasar-pasar berbau. Tanpa perasaan ditempatkan di tempat pembuangan sampah. Sepertinya ia melihat harga dirinya tidak lebih dari sampah, dan berpikir harga nyawa dan tubuh anaknya juga serupa dengan harganya. Tapi, meski semua gambaran itu terpampang serupa baliho raksasa, mereka tidak bisa melihat keindahan cinta seperti yang ditatap lamat oleh seribu sufi yang memang sudah mati. Mereka masih saja karena alasan telah dewasa, menyebut cinta tidak lebih dari libido. Lalu mengatakan pada orang-orang,"aku telah sangat matang dan dewasa, aku mengenal cinta seperti aku mengenal setiap inci tubuhku sendiri." Mungkin mereka lupa, keangkuhan dalam menyimpulkan diri sendiri justru menjadi jurang-jurang begitu dalam yang siap memamah tubuh berjamur miliknya, karena tidak mampu lagi membedakan bening air sumur dengan lumpur tempat babi hutan berjemur. Wallaahu a'lam Sumber Gambar: Di Sini Also Published in: Aksara Manusia Catatan Qing Zul Kolom Lain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H