[caption id="attachment_118528" align="alignleft" width="300" caption="Wahai rakyatku, cuma tetes airmata yang keluar untukmu, dariku. Rakyat yang juga sepertimu (Gbr: Kompas.com)"][/caption] Persis saat makan siang, televisi di warung nasi yang kusinggahi memperlihatkan wajah-wajah beringas berhadapan dengan rakyat kecil. Dengan nasi yang masih kukunyah di dalam mulut, saya hanya bisa ngedumel,"kenapa menghadapi rakyat harus seperti penjajah berhadapan dengan masyarakat jajahan?" Tentu, suara kekesalan saya itu tidak didengar oleh siapa-siapa.
***
Malam ini, sebenarnya saya sudah nyaris lupa dengan kasus itu. Malah sedang mencoba mencari-cari tulisan yang berhubungan dengan kasus penangkapan Susno Duaji. Nah, melihat photo yang ditampilkan Kompas.com, pencarian itu berubah haluan. Tulisan yang berhubungan dengan kasus Priok menjadi sasaran pencarian selanjutnya. Terdapat 3 tulisan yang berhubungan dengan Priok yang saya singgahi dan sempat meninggalkan luapan kekesalan saya atas kasus tersebut, meski luapan yang lebih mirip omelan itu tidak memberi pengaruh apapun untuk korban di Priok. Korban yang tentu tidak hanya rakyat, tetapi juga yang menjadi wakil pemerintah, Satpol PP, notabene juga mereka yang tidak makan gaji tidak terlalu banyak dibanding dengan pejabat-pejabat eselon. Lupas sumbernya, namun tadi siang sempat saya lihat memang salah satu anggota Satpol PP yang tangannya hampir putus kena tebas warga yang melawan kedatangannya. Masyarakat terlebih lagi. Mereka hanya bersenjata apa adanya dengan jumlah yang lebih sedikit dari Satpol PP dan Polisi yang berdatangan ke sana. Tentu mereka menjadi bulan-bulanan aparat yang tidak ingat lagi bahwa mereka itu diberi makan oleh rakyat.
***
Akar Masalah Tanah yang disengketakan di sana, berdasar beberapa referensi yang sempat saya baca tadi. Disebutkan bahwa tanah makam itu adalah milik Pelindo. Perusahaan yang saya sendiri tidak tahu bergerak dalam hal apa. Dan itu baru menjadi milik mereka berkisar 30 tahun. Sedang makam tersebut berada di sana telah jauh-jauh hari, pada angka tahun yang sudah teramat lama. Terpikir di kepala saya, menyimak begitu hormatnya masyarakat di sana pada figur ulama yang terbaring di sana--kuburan tersebut--. Bagaimana caranya tanah itu menjadi beralih ke tangan perusahaan itu, sedang kalau melihat soal rasa hormat masyarakat sepertinya mustahil dari mereka menjual tanah tersebut untuk perusahaan ini. Dari sana, saya menduga ada hal yang tidak benar pada proses peralihan kepemilikan tanah itu hingga bisa berada di tangan perusahaan yang telah dengan apik mempertarungkan aparat pemerintah dengan rakyat. Jadi timbul selera untuk memaki-maki mereka yang tak lagi punya hati. Tapi, tetap saja, takkan bisa menghidupkan kembali yangs udah mati.
***
Kasus itu kian menunjukkan betapa pemerintah negeri ini sudah tidak punya harga diri. Bayangkan, hanya karena pihak perusahaan tidak bisa melawan masyarakat yang menentang penggusuran tanah makam sosok ulama yang dikagumi mereka. Pelindo yang notabene sebagai perusahaan yang bisa dipastikan memiliki banyak uang meminta tolong pada pemerintah untuk turun tangan. Pemerintah daerah itu pun begitu saja menuruti tanpa mencoba menelusuri kembali lebih jauh jalan yang lebih bijak menyikapi konflik itu. Hanya berpegang pada keputusan pengadilan dan mungkin--sedikit mencurigai-- dan segepok uang. Sedang untuk jaman sekarang, keputusan pengadilan pun sudah tidak layak dijadikan pegangan, karena uang sudah lebih punya kuasa untuk berfirman.
Pemerintah bisa diadu dengan rakyat oleh perusahaan itu. Apakah itu tidak memalukan?
Salam Cinta untuk Masyarakat Priok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H