Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelanjangi Aceh

24 Maret 2010   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:13 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_101638" align="alignleft" width="236" caption="Hope, there's no more fool when you look the state (Gbr: Google)"][/caption] Jika saya mencintai Aceh semoga tidak pernah disebut sebagai semata karena semangat sukuisme yang kemudian diklaim sebagai anak bangsa yang tidak pancasilais, tidak nasionalis. Karena bagi saya Aceh merupakan jengkal-jengkal tanah yang sangat indah, kendati di sana terdapat banyak catatan merah, juga catatan nyawa. Catatan darah disebabkan semangat Aceh Pungoe (de Atjeh Oorlog), catatan nyawa oleh tsunami. Aceh Pungoe (istilah yang juga dijadikan judul buku oleh rekan Taufik al Mubarak), merupakan istilah yang memang mewakili mentalitas dan spirit orang Aceh. Satu sisi bisa berkonotasi negatif karena Aceh pungoe tersebut lebih mirip dengan kalap, gelap mata dan ketidakbersediaan untuk kompromi (total uncompromise). Tetapi, Aceh pungoe juga bisa bermakna kesetiakawanan yang tanpa pamrih, pengorbanan yang tidak setengah, kecintaan mendalam terhadap nilai agama juga ketidakpedulian pada ketakutan saat dihadapkan pada kebenaran yang harus dibela--semoga kecintaan mendalam tersebut tidak diterjemahkan sebagai fanatisme--. Nah, lepas dari itu, sejauh ini saya melihat, mendengar dan membaca terlalu banyak sorotan, tudingan yang dialamatkan untuk Aceh. Seperti, orang Aceh banyak yang suka menipu. Orang Aceh banyak yang tidak jujur. Apalagi salah satu media di sana sempat menyebutkan, jika Indonesia termasuk salah satu negara yang terparah dalam korupsi. Maka di Indonesia, Aceh merupakan propinsi yang paling tinggi angka korupsinya (tapi jangan minta saya untuk menulis nominalnya). Iya, silahkan menyebut bahwa itu benar. Namun satu hal yang hari ini masih enggan untuk saya iyakan adalah penggeneralisiran, menyemaratakan. Bahwa, semua orang Aceh seperti itu. Kenapa saya sedikit mengeluh seperti ini, karena memang saya memperhatikan yang bahwa masih saja mereka yang secara intelektual terhitung mumpuni namun dalam melihat Aceh, pakaian objektifitas cenderung ditanggalkan dan Aceh tetap tersamaratakan. Sampai muncul ungkapan, kalau memang banyak fakta yang menyebut bahwa yang berbau adalah bangkai, jadi semua yang berbau adalah bangkai. Tanpa peduli bahwa makanan berupa daging bakar yang memiliki kandungan gizi tinggi juga memiliki aroma (baca: bau). Terus, mengiyakan, jika pernah tercium mulut yang berbau, maka semua mulut juga berbau. Kadang saya merinding antara geram dan mencoba mendengar tudingan itu dengan tenang, tanpa perlu mencak-mencak. Tetapi tetap saja saya sangat menyesalkan, mereka yang mengaku intelek masih juga mempertahankan pilihan untuk menuding seperti itu. Padahal efek dari tudingan tersebut sangat buruk. [caption id="attachment_101641" align="alignright" width="300" caption="Ada keindahan yang tidak akan hilang dari Tanoeh Aceh untuk nusantara ini (Gbr: Google)"][/caption] Meski harus saya akui juga bahwa soal tudingan itu tidak hanya tertuju pada Aceh, namun tetap saja hal itu tak dapat dibenarkan. Karena ada intelektualitas yang harusnya difungsikan tidak hanya tersurat dalam berlembar-lembar ijazah dan piagam penghargaan. Ada nurani yang seyogyanya harus difungsikan. Dan ada kebaikan yang masih tersisa di "tong sampah" mana saja--pada tingkatan terparah bisa diolah sebagai pupuk--. Jika tidak tentu akan sangat tepat analogi tumpukan buku di hadapan keledai, tidak akan ada yang berubah. Idealnya menuding dan menggeneralisir sebegitu rupa cukup hanya tersisa di pasar-pasar saja. Di kaki lima. Karena memang di pasar-pasar banyak bertempat sampah yang berbau, darah hewan yang disembelih sampai berpengaruh pada "bau" cara berpikir. Tetapi jika yang sudah mengenyam pendidikan yang notabene bertujuan jauh untuk membuat manusia bijaksana tetap mengikuti pola pikir pasaran, kenapa tidak dibakar saja semua ijazah dan piagam-piagam penghargaan. Memang, saya pribadi juga melihat realitas dalam sedikit catatan perjalanan saya di Indonesia ini. Bahwa [caption id="attachment_101639" align="alignleft" width="300" caption="Ada sejarah yang tidak murah di tanah itu (Gbr: Google)"][/caption] ternyata banyak orang Aceh menjalankan pekerjaan yang jauh dari kebaikan. Mereka menjadi penipu, mereka melakukan kekejian bahkan ada juga yang bermain peran dalam dunia pelacuran. Namun jika hal itu dijadikan standar dan dasar menuding dan menggeneralisir, bukankah nyaris semua komunitas masyarakat dan suku memiliki "tipe" manusia seperti itu? Oh, kemudian ada menyebut, seharusnya jika memang tidak ingin digeneralisir sebegitu rupa, kenapa orang Aceh tidak mencoba menunjukkan yang baik-baik saja. Meninggalkan semua kekejian yang pernah dilakukan? Duh, gusti. Mari kita lihat manusia sebagai manusia. Di mana-mana juga sama, ada yang baik dan ada yang buruk. Yang terbiasa dengan keburukan mau ber-KTP mana saja, mau suku mana saja, ber-'agama'  apa saja tetap ia dengan kesejatian dia. Karena bicara penjahat, Tuhan tidak menciptakan penjahat untuk suku tertentu. Tidak mengirim orang-orang baik seluruhnya baik dalam satu suku. Namun selalu saja akan tetap ada heterogen atawa kemajemukan dan keberagaman. Ada untuk menguji yang baik apakah benar-benar baik atau hanya bertopeng saja. Penjahat ada di mana-mana, juga orang baik juga ada di mana-mana. Demi cinta kita sebagai manusia, semoga ke depan tidak ada lagi satu sukupun yang terzalimi hanya karena persoalan kepicikan yang dipertuhankan. Gegerkalong, 24032010 Also Publish in: Tukang Parkir

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun