Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hikayat Perawan dan Burung

28 Januari 2010   09:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:12 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_63268" align="alignleft" width="225" caption="semua indah hanya ketika waktunya tiba (Gbr: CM)"][/caption] Kulit tubuhnya memerah, lalu menjadi jingga dan selanjutnya menjadi tinta untuk menggambar syurga dalam seribu sketsa berbentuk kata. Di elus oleh seribu pujangga untuk lenakan para durja yang terangsang pada ronanya. Ia terbaring di rerumputan hijau, dengan cahaya yang membuat matahari menjadi iri. Mengangkat tangan kanan indahnya untuk membantali kepala yang dipenuhi rambut indahnya. Lekuk tubuhnya membuat beribu burung tak kuasa terbang. Semua samudera berhenti mengalun. Semua embun enggan memuai. Lantas, burung memaki langit yang bergonta-ganti warna antara gelap dan terang, mengganggu matanya untuk menatap perawan di rerumputan hijau yang terbaring dengan dada indah menantang langit. "Jangan alihkan terangmu duhai langit. Jangan izinkan dulu malam datang. Aku sedang menikmati indah di rumput itu. Aku ingin turun ke sana." Para dewa membentak,"tidak bisa, kau menjadi burung yang harus tetap terbang dengan semua keterbatasanmu. Jangan kau coba mengdikte langit dengan prosa kicaumu yang tak memiliki ritme." "Tak peduli, kalian teriaklah. Jikapun langit tak bisa kuubah untuk tetap terang. Aku akan tetap disini. Aku ingin terbang turun menukik serupa elang. Biar saja kau sebut aku sebagai burung jalang. Karena rinduku ini sudah sedemikian nyalang." "Jangan, kau burung kecil. Kakimu terlalu kecil untuk bisa berlari di rerumputan yang sebenarnya adalah sabana penuh ular itu. Kelak kau menyesal, ketika sayap-sayap dan tulangmu lumat dalam kunyahan  sanca." "Dewa, kau takkan lagi kupuja jika cinta kau pandang tak lebih berharga dari seonggok berhala yang tak bisa merasa. Berhala yang tak pernah bisa berkata. Aku takkan pedulikanmu, aku sudah terpana pada dada sang perawan dan merah kulitnya yang terlihat serupa bukit-bukit yang dipenuhi bunga nirwana. Aku sudah lama tahu, cinta takkan pernah menjadi taman bunga jika ketakutan itu terbiarkan penuhi dada" Burung kecil yang tak pernah menghitung jumlah bulu-bulunya. Terbang sesaat membumbung menyentuh awan, lantas menukik tajam menyinggahi gunung yang sudah tidak dikenalinya.  Sampai ia hanya bisa berpuisi dengan paruh mengarah ke langit, "kenapa, lekuk indah yang kulihat dari kejauhan begitu indah. Sedangkan ketika aku singgah kesini, justru aku tidak bisa merasakan apa-apa wahai para dewa?" Gelegar petir menjadi jawaban. "semua indah itu hanya terlihat abadi dalam indah jika saja kau penuhi sabda dewa. Untuk tidak pernah menyinggahi tubuhnya sebelum tibanya masa kau bisa jelajahi semua lekuk di sana." Burung kecil yang merasa gagah itupun mati hangus terbakar tepat di puncak bukit sang perawan. Tetapi, arwahnya menulis puisi di awan senja sudah kucoba taklukkan indah sang perawan. aku tidak dapatkan apa-apa, tetapi aku pasti mendapatkan syurga dengan semua bara cinta yang kubawa dalam kematian yang akhiri semua sengsara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun