Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Catatan Lelaki Berdaki

31 Januari 2010   12:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:09 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seribu sufi telah mati.

Seribu lelaki sedang mencoba mengais-ngais tanah-tanah berbatu dalam sepi.

Bukan sebagai pemecah batu, meski mereka penuh berdaki.

mereka hanya lelaki yang sedang berjalan mencoba mengenal diri.

[caption id="attachment_65358" align="alignleft" width="300" caption=" semua keindahan itu bertempat dalam hati ketika ia sudah bersih dari segala benci (Gbr: Google)"][/caption] Lelaki tidak semuanya memilih untuk mengambil daki ke dalam puisi, mungkin dikiranya akan membuat ia terlalu pagi merasakan mati. Ketakutan bersemak di dalam hati, meranggas dalam nurani. Sedangkan hati sudah digembok di dalam sebuah peti besi. Lalu, sekian banyak peti dilempar ke dalam kali. Pagi tadi mereka kulihat sedang berpeluh mencoba menyelam untuk mendapatkannya kembali. Pernah beberapa darwiys, juga pernah disabdakan Rumi, menasehati: "jika memilih untuk kembali menyatu dengan diri sejati. Jangan kenakan baju dan celana yang begitu mahal dan berat. Itu akan membuatnya susah sekedar untuk bisa berenang. Karena kali yang hendak diselami memiliki kedalaman yang tidak hanya seinci. Sebab itu adalah bentuk ketololan yang sangat parah. Karena kelak, saat sedang menepi, mereka hanya bisa mencaci. Sampai selanjutnya mengira semua orang hanya memiliki kedalaman hati yang cuma sesenti." Entah begitu bernafsu untuk disebut lelaki pemberani,"biarkanlah kubawa seragam ini, untuk kurenangi kali kecil itu. Aku bisa pastikan, tubuhku takkan terlalu kelelahan hanya dengan merengangi kali seperti ini." Tegas mereka dengan mimik wajah datar namun mengisyaratkan percaya diri tinggi. "Wahai, menjadi pemberani bukan dengan memasang bentuk wajah begitu rupa. Kita sama-sama menjalani kehidupan sebagai lelaki. Dan percaya diri bukan terdefinisi serupa ini. Kalian hanya akan membuat diri sendiri mati sebelum yang kalian cari kalian dapati." "Kalian ingin kami menjadi pengikutmu bukan, agar kami kelak mencatat namamu di buku kami, bukan? Tidak perlulah berbasa-basi karena engkau tahu kami juga lelaki." Sela mereka. Sampai mereka yang mencoba menasehati berlalu pergi dari lelaki yang hanya bangga menjadi sekedar lelaki.

***

Dalam kerumunan itu, aku malah seperti semakin jauh mengenal diri. Hanya membiarkan diri bersama tanya hening tetap berharap pada bening sunyi. Mendengar dan terus mendengar. Hingga tiba-tiba saja Rumi yang tadi kulihat menjauhi diri mereka malah mengajakku menari, dalam geram yang meredam."Keramaian itu tidak selalu menjadi pilihan tabu, karena malu hanya milik kalbu yang takkan kelu hanya dengan engkau melempar senyum dan berbicara seperti kebanyakan manusia. Menyusun kata yang dimengerti mereka. Silahkan bicara sesuai yang mereka suka. Tetapi masukkan saja beberapa mantera sihir yang bisa kau raba dari semua kitab suci yang bisa kau baca.  Kelak itu akan membuat mereka tak bisa berkata-kata. Karena semua yang diucapkan mereka tadi sebagai keberanian, sebenarnya hanyalah dusta." Asy-Syibli ikut mengiringi derap kaki dalam senandung puja Rabbi,"tidak perlu engkau bersusah payah untuk mengenal mereka ketika engkau selalu pastikan hatimu tak pernah mati. Dan kau hanya izinkan ketakutan dan harap itu hanya kau angsurkan pada rambut. Tidak pada mereka yang kau kira adalah bangsamu sesama lelaki. Hidup tak selamanya bersandar pada perkiraan, tetapi seringkali hidup memiliki tiang kokoh yang disepakati sebagai nadi bernama nurani." "Aku pernah menjadi angkuh, kenapa rahasia suci kalian bisiki padaku yang sedang menerjemahkan makna terlahir sebagai lelaki?" Syibli dan Rumi menunjukkan senyum yang begitu berseri, dengan sinar yang kukira tidak kalah dengan matahari."Seorang lelaki hanya layak disebut lelaki hanya ketika mereka bisa melihat dan mendengar tegas pada bentuk dan suara nurani. Silahkan saja kau tunjukkan keangkuhan pada manusia angkuh, karena hanya dengan itu mereka akan berpikir seribu kali untuk tetap bersikukuh. Dalam setubuh dusta serupa gunung yang selalu gigih mereka coba rengkuh." "Akupun lelaki yang penuh berdaki." "Iya, dan kau tak mesti dipusingkan melihat aliran air di kali. Karena lelaki itu adalah hati. Karena seragam perang lelaki itu adalah hati. Karena dengannya kelak engkau tidak pernah membuat mereka semakin banyak yang mati. Karena mereka itu adalah manusia yang memang harus dikasihani. Jangan pernah berpikir untuk melemparkan mereka caci maki, meski engkau menghadapi mereka juga dengan keangkuhan. Keangkuhan ini hanya terizinkan oleh seorang lelaki sejati, dimunculkan hanya ketika genderang perang sudah berbunyi. Setelah itu, ubahlah wajahmu kembali sebagai matahari, yang memberi cahaya yang selalu berseri. Sebab dengannya semua mendung akan hilang dikibaskan para peri." "Senandung sufi tidak pernah mudah untukku memahami." Tegasku. "Dengarlah dengan telinga seorang lelaki karena engkau tercipta sebagai seorang lelaki. Melihatlah sebagai seorang lelaki. Berjalanlah sebagai seorang lelaki. Jika harus diam juga engkau harus diam sebagai seorang lelaki. Sekali lagi, kau tak perlu mencoba mereka-reka ini atau menafsirkannya seperti saat engkau mendengar puisi." "Tetapi sering-sering saja mendengar saat hati dan nurani sedang berdiskusi. Izinkan telingamu untuk tetap berwarna putih. Relakan matamu untuk tetap putih. Meski kay tetap biarkan hatimu berwarna merah darah. Mungkin dalam perjalananmu kelak, terkadang kau juga membutuhku pemantik untuk setitik api. Sekedar untuk menghangatkan diri. Tetapi perjalanan dan setiap langkah pastikan tidak pernah membuatmu menjadi lupa diri. Dan engkau akan menjadi ksatria yang bersih dari daki, ketika engkau selalu membuka diri untuk dirasuki arwah semua sufi yang memang tak pernah mati. Inilah rahasia suci yang takkan terdengar oleh mereka yang selalu berbangga diri." Inspirasi: http://www.youtube.com/watch?v=_VEVaGFC-mY

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun