Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makan Buku dengan Asam Garam

30 Juni 2010   07:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_181294" align="alignright" width="218" caption="Layak dicoba meski sebenarnya ini bukan menu baru (Gbr: Flickr.com)"][/caption] Bicara bangsa mana yang paling banyak makan asam garam, maka Indonesia negeri sekaligus tanah tumpah ini menjadi jawaban. Dan ini tidak sekadar soal bumbu masak, karena kemudian asam dan garam mendapat tempat melebihi ruang dapur. Dulu, dengan segenap keluguan saya sempat melamun, untuk menjadi seseorang yang disegani, dihormati maka harus banyak-banyak makan asam garam. Beli asam, untuk masa ketika saya masih kecil, 100 perak bisa dapat 3 biji. Sedangkan garam, cuma 50 perak satu bungkus. Duduk di depan pintu, mencoba mencari cara, bagaimana caranya untuk bisa banyak-banyak makan asam dan garam. Karena memang, saat itu begitu tertarik untuk menjadi orang yang disegani dan dihormati. Suka melihat orang terbungkuk-bungkuk saat berjalan di depan orang-orang yang diakui sudah sangat banyak makan asam garam. Sempat juga berkelebat rencana, pagi makan garam yang dicampur dengan nasi begitu saja, dan sore makan asam cuma dicampur dengan dengan sedikit gula dan dicampur air. Beberapa lama menjalani ritual tersebut, perut saya sering perih-perih dan saya bahkan terlihat lebih kurus. Semoga cerita ini bisa terlihat sebagai cerita yang mengada-ada. Terus, setelah beberapa lama, saya coba untuk lebih banyak membaca. Memang buku Bahasa Indonesia menjadi pilihan, tetapi bukan teori tentang tata bahasa yang membuat saya pening--dan memang tidak saya sukai--tetapi justru membaca cerita-cerita perumpamaan. Kalaupun ada yang berhubungan dengan tata bahasa, maka bagian yang paling saya sukai saat berbicara tentang majas. Hampir semua model majas, ketika itu coba untuk saya dalami, lalu mengendap. Seiring selera belajar saya sebagai seorang anak kemudian beralih pada buku-buku sejarah. Buku yang berhubungan dengan tokoh-tokoh besar seperti Alexander the Great, Napoleon Bonaparte, Albert Einstein saya lahap tanpa saya rebus atau saya masak terlebih dahulu, tetapi tidak bikin sakit perut. Saya juga memakan buku-buku tentang sejarah perang, dari perang yang pernah terjadi di Indonesia sampai belahan dunia lainnya, tanpa mencuci tangan terlebih dahulu tanpa khawatir terkena cacingan. Tak ketinggalan epos peperangan seperti Bharatayudha juga menarik minat saya sebelum kemudian coba untuk menjamah filsafat, sufistik, psikologi. Tiga disiplin yang sangat menggugah selera 'makan' saya. Tersadar sedikit, kok kemudian semakin banyak memakan dan melahap buku itu, lalu saya melihat diri sendiri lebih menyukai berkutat dengan buku-buku tersebut daripada mencoba mengasah kemampuan interpersonal yang kemudian saya tahu juga tidak kalah penting saat menjalani kehidupan dewasa. Bahkan, tak jarang, beberapa kawan yang datang ke rumah, saya perhatikan lebih suka menunjukkan wajah kecut karena mereka lebih banyak saya hidangkan buku-buku yang sedang saya lahap. Secara tersirat, mencoba untuk katakan membaca lebih baik daripada banyak bicara. Dari sana, ternyata kemudian jumlah teman saya mengecil. Namun begitu, meski mengalami kondisi 'kurang gaul' selanjutnya saya menemukan sebuah konsep yang lumayan membuat saya kembali merasa berharga, ketika membaca seuntai kalimat,"Didatangi orang lebih baik daripada mendatangi." Merenung, lalu mengiyakan, kalau saya yang mendatangi mereka tentu--kemungkinan besar--saya yang memiliki kepentingan terhadap mereka, tetapi jika saya yang didatangi berarti mereka memiliki kepentingan dengan saya. Maka kemudian, saya tidak menyesal telah menghentikan memakan asam dan garam, tetapi bersyukur bisa memakan buku meski tidak cuci tangan sebelum makan. (ZA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun