Sekitar seminggu lalu, sebuah SMS masuk ke seluler saya;”Malam ini Jepang lawan Belanda.” Lihat sekilas, sedikit berirama iseng, saya balas;”Wah, menarik, penjajah lawan penjajah.” Selanjutnya, saya harus ikhlas tidak bisa mengikuti pertandingan 2 negeri yang tercatat di banyak buku sejarah Indonesia itu. Disebabkan sedang dalam perjalanan, duduk melamun dalam posisi sebagai penumpang sebuah angkot. Melamun tentang negeri penjajah itu. Posisi duduk bersebelahan dengan sopir angkot lumayan membuat saya leluasa melamun setinggi-tingginya, tanpa khawatir teriakan;”Geser dikit Aa," Saat ada penumpang lain masuk. Terbetik di pikiran, apakah ini kelebihan negara yang punya kemampuan menjajah, sampai dalam perjalanan sejarahnya mereka selalu bisa berjalan sejajar tanpa tertunduk malu-malu seperti gadis di gampoeng saya, dengan negara-negara maju lainnya. Maka lebih lanjut, di pentas olahraga sekalipun, mereka juga masih bisa terhormat. Sedangkan negeri saya, tanah tumpah darah tercinta (saya pribadi baru tumpah darah hanya saat mencabut gigi, dulu sekali), sejauh ini belum bisa berbusung dada di medan pertarungan bergengsi di ajang yang disebut World Cup itu. Tunggu dulu, meski sepintas di atas sempat saya kotori tulisan saya ini dengan flash back darah gigi saat patah gigi itu sebagai penyebabnya.. Tapi ada juga titik kemiripan kalau menyentil soal gigi. Dalam arti, 2 negeri bekas penjajah itu bisa unjuk gigi sedangkan kita baru bisa melakukan itu dengan berani dan tanpa perlu segan-segan cuma dalam acara: Bukan Empat Mata yang diperankan Tukul Arwana di salah satu televisi swasta. Itupun cuma Tukul sendiri yang dengan rendah hati merelakan giginya dieksploitasi. Selebihnya, kendati katanya rajin sikat gigi, jarang sekali seberani Tukul. Sempat terbetik, apakah negeri-negeri bekas jajahan Belanda dan Jepang harus ikut training, seminar atau apapun namanya dari Tukul Arwana agar mereka bisa unjuk gigi? Yap, ini saya saja yang terlalu mengada-ada. Jadi berputar-putar ya? Mungkin ini disebabkan oleh kursi yang sedang saya duduki agak muter-muter. Tetapi, kembali ke topik, saya tercenung kembali soal gigi. Dalam arti, apakah karena memang dari dulu 2 negara itu memiliki pemimpin dan tokoh-tokoh negara yang bergigi bagus sampai mereka bisa unjuk gigi dari dulu, bahkan dalam beberapa buku sejarah diistilahkan lebih kuat lagi dengan "menancapkan taringnya." Dan mereka bisa tancapkan taring itu sampai sekarang, terbukti, tadi pagi jelang subuh saya lihat Belanda menang dari Kamerun, Jepang menang dari Meksiko. Nah, kalau bicara kenapa dan mengapa (sama saja ya?) Indonesia belum bisa unjuk gigi di sana, lepas dari sejarah sebagai negeri yang pernah terjajah, sepertinya layak dipertimbangkan juga untuk melihat kembali di cermin dengan amalgam perak yang masih paripurna, apakah kualitas gigi kita masih bagus, atau selama ini kita hanya berbangga dengan gigi polesan atawa bahkan gigi palsu? Sebab, soal gigi itu kan tidak hanya yang berada di mulut? Tetapi ini bisa diisyaratkan untuk 'gigi' seperti apa yang sudah duduk di sisi depan 'mulut' negeri ini, juga yang bersedia duduk di deretan paling belakang alias gigi geraham. Kalau gigi geraham sampai hari ini masih terus melapuk, berlobang kiri kanan, tidak ada yang bisa diharapkan untuk mengunyah dengan bagus 'makanan' pengetahuan. Kondisi yang berisiko langsung pada proses pencernaan nantinya. Bukankah, sekalipun bola tidak berotak, tetapi untuk bisa mempermainkan si kulit bundar itu juga benar-benar butuh otak dari siapa saja yan ingin permainkannya. Ah, saya tidak berniat arahkan itu untuk memaki bangsa sendiri (ZA). --------- Geger Kalong, 25 Juni 2010 --------- Sumber Gambar: www.cbc.ca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H