[caption id="attachment_104500" align="alignleft" width="312" caption="Jangan musnahkan bahasa ibu karena alasan perasaan high class (Gbr: Google)"][/caption] Salah seorang politikus nasional yang tidak perlu disebutkan namanya, dalam salah satu kampanyenya satu ketika di Aceh berujar:"Saya orang Aceh, asli. Tetapi maaf karena saya dari kecil sudah dibawa keluar dari Aceh maka saya tidak bisa Bahasa Aceh." Yap, itu saya temukan sendiri pemandangan itu di daerah saya, Aceh pada salah satu perhelatan yang diadakan oleh salah satu parta "berwarna cerah" jelang Pemilu di satu ketika. Satu sisi, saya mencoba mafhum, apalagi memang politikus yang lumayan punya nama di Indonesia ini--dari hasil penelusuran saya terhadap riwayat hidupnya--, benar sering berada di luar Aceh. Apalagi orangtuanya sebagai militer kerap berdinas di luar Aceh. Cuma, tetap saja saya merasakan semacam rasa miris, apakah dalam keluarganya dulu tidak pernah dipergunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-hari? Itu satu bentuk keheranan yang saya rasakan. Tetapi kemudian, saya tertarik untuk melakukan perbandingan setelah sekitar 2 bulan sudah menapaki Tanah Sunda. Berinteraksi sehari-hari dengan Orang Sunda, saya menemukan menemukan sebuah pelajaran yang sangat menarik sehubungan dengan trend Bahasa Daerah. Betapa, dalam pergaulan keseharian, dari yang paling kecil hingga pejabat, orang-orang tersohor. Identitasnya sebagai seorang Sunda tidak ditanggalkannya. Mereka terlihat seperti bangga dengan bahasa ibunya. Saat berjalan-jalan di mall, di kampus-kampus, uniknya yang bukan Orang Sunda juga cenderung memilih Bahasa Sunda sebagai "langkah awal" menyapa orang yang baru dikenalnya. Saya sendiri, beberapa kali acap ditegus orang-orang yang saya temui dengan bahasa Sunda, kendati kemudian saya tahu mereka bukan penduduk asli propinsi berdiamnya suku tersebut. Itu saya sebut keunikan karena saya merasa itu sebagai sebuah keberhasilan masyarakat daerah ini memasyarakatkan bahasanya. Tidak mengada-ada, saya sebut ini sebagai hal yang luar biasa. Sebab orang luar saja merasa familiar dengan bahasa tersebut. Apakah orang Aceh tidak mencintai bahasa daerahnya? Nah itu saya coba tanyakan juga pada diri sendiri. Dan jawaban yang saya temukan saat mencoba melihat semua yang pernah saya saksikan--khususnya di kawasan perkotaan--nyaris sulit menemukan Orang Aceh yang bangga dengan bahasa daerahnya. Bahkan dengan sesama suku tetap mencoba tidak pergunakan itu, ironis. Bahasa Aceh sekarang, justru lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat di pedesaan (baca: gampong). Kenapa animo penggunaan bahasa daerah di Aceh cenderung hanya dipergunakan di pedesaan saja, saya menyimak satu kemungkinan anggapan. Bahwa yang menggunakan bahasa daerah adalah masyarakat yang terbelakang, yang jauh dari kemajuan, simbol dari kurangnya pergaulan dan wawasan. Dari mana saya menemukan kesimpulan yang agak sinis tersebut? Beberapa kali obrolan (untuk menghindari bahasa ilmiah resmi untuk: depth interview), dengan beberapa kenalan yang Aceh asli dan kebetulan tinggal di kawasan perkotaan, kesimpulan itu saya temukan tegas.
***
Perbandingan ini tidak ada tendensi apapun. Selain hanya berharap, agar bahasa daerah tidak tergerus. Bahasa daerah tidak punah, hanya oleh pandangan bahwa yang mempergunakan bahasa daerah adalah orang-orang kolot, orang-orang terpinggir, hanya orang-orang desa. Terkait ini, saya terkesan saat masih mengikuti pendidikan di Fakultas Tarbiyah, Jurusan Bahasa Inggris di IAIN Ar-Raniry pada awal 2000an. Seorang dosen, dia seorang alumnus perguruan tinggi ternama, Mc Gill University. Namun, saat dia berada di luar negeri sekalipun, untuk bicara Bahasa Inggris saja, dia dengan bangga melafalkan tiap vocabularies dengan aksen Aceh. Sebuah bentuk kecintaan yang luar biasa terhadap bahasa daerahnya. Intelektualitas yang tinggi, kemapanan hidup membuatnya tidak melepaskan baju kedaerahannya. Seakan ia tegaskan bahwa dalam kesatuan atas nama negara, mungkin semangat kesukuan harus disikapi dengan bijak. Tetapi dalam kaitan dengan pelestarian khasanah daerah, itu menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. Tanpa perlu berdalih,"saya intelektual, bahasa daerah minggir." Semoga saja, tidak hanya sepuluh dua puluh tahun ke depan, namun kekayaan bangsa itu bisa terjaga hingga masa waktu tak berbatas. Also Published in: Tukang Parkir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H