Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Peta Dunia tanpa Indonesia

12 Desember 2009   19:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_37166" align="alignleft" width="200" caption="sepertinya sudah tidak dibutuhkan apa-apa, oleh bangsa yang putus asa (fickar09)"][/caption] Malam ini sudah tidak kutemukan nama Indonesia dari Peta Dunia. Berjam-jam kucoba amati, jangan-jangan mataku yang sedang bermasalah. Ku coba melihat ke semua sisi. Nama Indonesia masih tidak kutemukan. Coba mengambil koran-koran yang berada di sekitar, berasal dari Indonesia. Kenapa malam ini nama yang pernah kubanggakan itu sudah hilang tiba-tiba? Aku melihat banyak mayat yang kembali hidup. Merangkak lunglai dari kuburan-kuburan yang sudah tidak bernisan. Salah satu berjalan dengan kharisma seperti laiknya politikus dunia. Dia menyebut diri dengan nama Mohammad Natsir. Selanjutnya, di sisi kirinya, berdiri seorang lelaki yang terus saja mematung, memperkenalkan diri dengan nama, Tan Malaka. Dan di kanan Natsir berdiri Soekarno dengan senyumnya yang khas. Aku terlibat sebuah pembicaraan imajiner dengan ketiga tokoh bangsa itu. Tan Malaka yang dari pertama kemunculannya hanya berdiri mematung setelah terlihat lelah merangkak. Tiba-tiba angkat bicara,"kau boleh saja mengambil seluruh isi otakmu dan kau jemur di bawah panas matahari. Percayalah, takkan bisa kau temukan jawaban kenapa negeri ini telah hilang dari peta dunia. Kau harus yakini, hilangnya nama negeri ini dari peta itu bukan bentuk imajinasimu belaka, Tetapi itu adalah realitas, buah dialektika alami. Yang kemudian berubah wujud sebagai kenyataan. Itu pula yang sempat kucemaskan dulu. Sekarang malah itu terjadi. Kenapa? Karena kalian yang masih diberikan nafas oleh alam, masih saja angkuh dengan semua kebodohan." Dia diam, hanya mencoba melepaskan beberapa belatung dan cacing yang mulai naik ke wajahnya. Sedikit terlihat seperti pemandangan di film-film horor. Soekarno muncul, mencoba melepaskan beberapa belatung di tubuh Tan Malaka."Diantara kami bertiga, Bung Tan memang jarang muncul di buku-buku sejarah. Tapi aku tahu, pikirannya tidak kalah dengan pikiran yang pernah kucoba tetaskan di kandang bernama Indonesia. Harapan yang muncul ketika itu tidak muluk-muluk. Selain, penerus kami bisa melihat Indonesia ini sebagai negara. Nah, untuk kau tahu tentang negara, jangan kau terlalu persulit dengan berbagai teori yang pernah kau telan. Jika hari ini tidak ada rakyat yang mendapat apapun yang membuat mereka bisa tersenyum, maka de facto sebuah negara sudah terhapus. Konsekuensi selanjutnya, akan secara otomatis, peta dunia akan membersihkan dirinya dari nama negara itu. Di masa aku menjadi bagian nakhoda negeri ini, kucoba dengan yang ku bisa agar negeri ini memiliki nama, memiliki kekuatan. Setelah itu aku bermimpi akan bisa menjadikan negara ini sebagai macan yang bisa mencari makan sendiri. Tetapi, hari ini, setelah semua mantera maki yang kau tulis di nisan kami, dan kami terbangun. Aku kecewa. Kecewa karena telah kau bangunkan saat kami memang sudah seharusnya istirahat. Dan kecewa, karena puluhan tahun lalu saat kami tidur dengan sekarang itu tidak jauh berbeda, Dan boleh disebut tidak berbeda sama sekali. Lalu, apa yang bisa kami banggakan dalam istirahat itu? Aku mencium dupa yang jauh lebih busuk dari bangkai dari tanah-tanah ini. Kuyakini, bau ini tidak berasal dari tubuh kami ini" Soekarno terlihat berjalan, lantas membelakangiku. Sepertinya ia sedang mencoba untuk menyembunyikan isaknya. Aku tahu sekali ia sedang menangis. Kucoba alihkan pandangan pada Natsir yang dari tadi terus memilih diam. Justru ia terlihat seperti sibuk bertasbih."Aku ingin mengeluarkan sebuah tuduhan yang memang tidak pernah kukeluarkan saat masih bersama kalian di negeri ini. Aku ingin menuduh, pemimpin kalian hari ini telah gagal berfilsafat. Mereka masih saja melihat pada simbol-simbol dan tidak mencoba menyelami semua simbol itu. Mereka sepertinya belajar filsafat hanya untuk mendapatkan nilai saat mengejar selembar ijazah saja. Kami mencoba meminta Tuhan untuk bisa hidupkan kami lagi, agar bisa jelaskan kembali pada penguasa kalian, ada yang keliru dalam mereka mencoba memahami pikiran-pikiran yang pernah kami tinggalkan. Aku mencurigai lagi, jangan-jangan kalian sendiri yang memilih pemimpin yang tidak bisa membaca. Maka kemudian yang terjadi, tak satupun permasalahan yang penting terbaca oleh mereka." Dalam sedikit pengetahuanku, aku mencoba menyela,"tetapi, setahuku penguasa negeri sudah mencoba melakukan banyak hal untuk lepaskan negeri ini dari masalah. Jika peta dunia sudah tidak berisi nama negeri ini, kurasa bukan kesalahan mereka." Tan Malaka kembali yang memilih bersuara,"Tidak ada yang harus diperdebatkan lagi. Kukira memang tidak perlu mereka harus berpayah-payah berfilsafat. jangan ajarkan mereka tentang Pancasila. Ada hal yang lebih penting. Ajarkan dulu abjad-abjad pada penguasamu. Agar mereka kenal kata, setelah kata kerja sudah dikenali mereka, yakinlah, kelak nama negeri ini akan muncul kembali di peta itu." Diselingi kembali Soekarno,"tidak dibutuhkan lagi negara ini, jika memang sudah tidak ada apa-apa yang bisa diberikan untuk rakyat. Dulu bisa dibenarkan rakyat saja yang harus berpikir untuk memberi pada negara, itu karena negara baru berdiri. Tapi, aku nyatakan mengutuk mereka, bila hari ini juga mereka masih berpikir sama. Tanyakan penguasamu hari ini, apa yang diberikan mereka untuk rakyat? sampaikan ini pada mereka." Tidak butuh waktu lama, mereka menghilang dalam irama angin yang mengisyaratkan kekecewaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun