Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Laila, Istri Bersama

14 Mei 2010   14:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk membakar daun-daun yang membusuk di hati.

[caption id="attachment_141007" align="alignright" width="234" caption="Laila, suamimu siapa?"][/caption]

Hanya butuh setitik api tidak perlu matahari.

***

Setelah kepergian kembali anaknya ke sekolah. Laila mulai merasakan ia tidak terlalu tertarik untuk mengumbar tawa lagi di hadapan lelaki selingkuhannya itu. Darah yang keluar dari kening anaknya tadi membuatnya tercenung, jauh. Pada ibunya dulu ketika ia masih kecil sekali, sebelum perempuan yang membawanya ke bumi itu sibuk dengan aksara cinta yang tak terbaca. Cinta yang tidak dimengerti olehnya, yang membuat anak-anaknya tidak pernah berkesempatan merasakan seperti apakah indahnya dekap manja dari sang ibunda. Ibu Laila hanya peduli padanya sampai ia jelang 6 tahun saja. Selebihnya, ibunya lebih menikmati memberi pelukan pada sekian lelaki yang dicintainya dan melupakan pelukan yang harus diberi pada anak-anaknya. Semua pemandangan itu begitu kuat membekas di pikiran perempuan desa yang pernah memiliki harum tak kalah dengan bunga ini. Terkait nilai hidup, Laila hanya mendapatkannya dari guru mengajinya saja. Mengaji hanya beberapa bulan saja, dan cuma bisa membaca alif ba ta, yang lain ia terus terbata-bata. Sedikit kemudian lagi didapat dari Bidan Ratna, tetapi menghafal cara baca tulisan Arab akan dengan mudah hilang dari ingatan ketika huruf-huruf itu sudah jarang terbaca. Itu pula yang dialami Laila. Ia tidak mengenal analisa penyebab petaka. Tidak paham warna dari semua dari realita. Ia hanya melihat pada rasa. Saat itu terasakan indah, ia akan memujanya. Mungkin itu pelajaran hidup yang didapat dari ibu yang juga menjadikan rasa yang ditempatkan di atas altar berdupa tanya tanpa memberi makna.

***

Amri terhenyak sendiri melihat rupa Laila yang berubah tiba-tiba. Ia bisa merasakan semacam pergolakan di dalam jiwa Laila. Bangkit, dan menyentuh pundaknya. ”Kenapa setelah kepulangan Ramat, kau terlihat lebih banyak diam? Kau takut darah?” Amri menduga-duga hanya darah itu yang menjadi penyebab Laila terdiam sedemikian rupa. Laila hanya menarik napas panjang, seperti sengaja dihela. Tap! Tangan Amri dengan ibu jari yang sudah mulai mengelus pundak Laila yang sedikit terbuka ditepisnya. ”Cuma karena anakmu berdarah, kau jadi seperti ini padaku?” ”Alahai, diam sedikit, bisa?” Sorot mata perempuan itu cukup bisa membuat lelaki bangsat seperti Amri tercenung dan segera menarik tangannya dan disentuhkan pada dengkulnya sendiri. Mirip dengan lakon Datuk Maringgih di film Siti Nurbaya memainkan jarinya di tongkat. Ada gelora yang harus ia bungkam disebabkan sikap Laila yang sudah begitu sulit untuk ia raba. Sampai kemudian memilih pamit tanpa berkata apa-apa. Di jalan Amri bertemu dengan Madi yang juga menjadi ’makanan ringan’ Laila. ”Ai Bang. Habis belah durian?” Ujarnya dengan nada menyindir. ”Na keumeueng? Ka jak laju cit ka teuhidang. (Mau? Datang saja karena sudah terhidang).” Ujar Amri sambil menarik kuping motor Astrea Prima, melaju membelah jalanan kampung hingga berdebu, mirip debu di wajahnya yang penuh nafsu.

***

Sore, Hasan sudah pulang dengan tangan yang agak menghitam. Memberikan beberapa lembar uang seribuan pada istrinya. Laila menyambut nyaris tanpa mengerling sedikitpun, karena sudah menduga uang yang diberikan seringkali jauh dari yang ia harapkan. ”Kudengar Amri sering ke sini? Ada perlu apa dia sebenarnya? Memang, walaupun dia aneuek keumuen (keponakan), tetap tidak baik kalau dia sering ke sini. Orang juga bisa menaruh curiga, La…” ”Alah, hana thee tuha lee (tidak sadar diri yang sudah mulai tua). Sudah punya anak seperti ini, 2 malah. Siapa mau? Itu juga benar keponakan, kenapa harus dipusingkan kata orang. Aku saudara ibunya, wajar kan dia sering kesini, e.” Ujar Laila dengan irama canda yang hambar. Canda yang dipaksa untuk dijadikan lakon untuk menutupi bau lelaki lain dari hembusan nafasnya. ”Bukan masalah itu, tapi kita pertimbangkan juga kalau suami sedang tidak di rumah. Apakah wajar ada lelaki lain yang leluasa datang, walaupun itu adik kandung sekalipun? Coba dengar juga apa yang orang katakan.” Hasan mencoba untuk berkata dengan irama pelan agar tidak sampai membuat istri yang sudah kian dicintainya sejak memiliki 2 anak itu, tersinggung. ”Selalu saja dengar kata orang. Situ lihat juga, apakah ada orang berumah tangga bisa selamat kalau melulu dengar kata pulan, kata pulen?” Penyebutan ”situ’ menjadi sebutan lazim untuk seorang Istri menyapa Suaminya, dan demikian juga Laila terkadang kerap gunakan kata itu daripada menyebut dengan panggilan ”Abang” yang terasa berlebihan di matanya. Mencoba tidak perpanjang debat dengan istrinya yang memang sudah kian keras kepala. Hasan mengambil rokok Esekod [Escort], membakar dengan korek api bergambar gajah di depan dan belakangnya. Menghembus kuat-kuat seolah mencoba untuk keluarkan habis rasa geram karena kehabisan akal menghadapi perempuan ini. ”Kau pernah dengar cerita seperti waktu kita meugatiep [nikah] dulu? Waktu Teungku cerita tentang Fatimah, aneuek Nabi?” Tidak menunggu respon Laila;”Dia berkunjung ke rumah salah satu sahabat. Istrinya tidak membuka pintu karena suaminya, sebelumnya sudah mewanti-wanti untuk tidak bukakan pintu siapapun yang datang. Dan ia patuh. Kemudian suaminya katakan, buka saja kalau Fatimah yang datang, persilahkan untuk masuk. Tetapi kemudian ia tidak membuka lagi, setelah pada kunjungan esoknya Fatimah datang dengan Hasan, terus Husen. Lagee nyan inoeng nyang get [begitu istri yang baik].” Dari gerak matanya, Laila bukan sedang menyimak semua yang diceritakan suaminya. Tapi;”lelaki seperti ini pun, ingin istri seperti istri Nabi. Lhoeh droe bak kubang keubeue (coba bercermin di bekas kerbau berkubang].” Laila berubah sengit, dan memilih ke dapur untuk masak. Ramat dan Jannah yang melihat polah ibunya terdiam saja, tanpa ada gurat heran lagi. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju. 23. Anak Lapar dan Perempuan Sangar. 24. Menelusuri Dada Laila 25. Perempuan Hitam 26. Gadis Desa Tanpa Sehelai Benang 27. Laila, Jadilah Hujan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun