Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Birahi

26 Januari 2010   16:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu dalam dansa beberapa malam kemudiannya. Mereka nyanyikan kidung cinta bercerita tentang gelisah atas serakah angkara. "Duhai, cinta ini menjadi energi yang akan kujadikan pedang-pedang tak terlihat mata musuh."

Dalam tatap sepenuh cinta, kekasihnya menambahkan lirik kidung itu,"Duhai rindu yang akan selalu kusiram sebagai embun yang membuat hati mereka yang menjejak bumi merasakan kesejukan serupa melodi surga mengalun. Menjadi seragam perang untuk kekasih membantai angkara dalam tarian sang perkasa di medan perang yang membuat dewa murka."

Kidung itu terhenti. Mereka berbaring saling dekap di tanah yang mulai melembab.

"Kekasih, apakah menurutmu, aku hentikan semua perang dan mengoyak beribu buku sejarah perang?"

"Tidak, diriku tidak mengharapkankan itu. Kenakan saja seragam perangmu, meski angkara tetap saja takkan pernah berakhir sebelum bumi penuh hancur dan melebur senyapkan semua dengkur. Tikam saja tubuh para angkara dengan seribu sangkur. Kutahu, itulah sejarah para ksatria yang telah membuat ketakutan sampai pada kerajaan guntur," bisik lirih puyuh kecil di tubuh kekasihnya yang mulai mengayun, dengan butir-butir keringat yang mulai berjatuhan yang membuat tanah semakin melembab.

Selanjutnya menjadi sajak lenguhan, dan lantas keduanya terdiam."Sayang, meski aku sudah penuhi jiwaku dengan semua salju cinta yang menjadi darah. Aku takkan membiarkan ia keluar berwarna merah, jikapun kelak aku mati dalam perang dengan para jalang. Meski mereka mencoba menebang tubuhku, tetapi tidak berbentuk tubuhku ini akan kujadikan penyebab mereka meriang. Kecuali jika memang mereka biarkan aku melenggang, dan mereka tidak terlalu girang menampakkan diri serupa beruang garang."

"Aku percaya padamu, duhai perkasa. Seperti tubuhmu saat mengayun di tubuhku, aku berharap satu hari kelak, perjalanan perang bisa terhenti. Meski kutahu, sejak berlaksa masa di abad-abad yang sudah berlalu, perseteruan dengan para benalu tidak pernah ikut berlalu. Teruskan perjalananmu ksatria. Aku akan menjaga benihmu di rahimku. Ia pasti akan menjadi angin sepoi-sepoi yang melenakan para musuh, dan menjadi penyejuk untuk pemilik hati yang tak pernah keruh."

Terpisahlah dua kekasih meneruskan perjalanan di pekat malam yang sedang buram. Dengan asa pasti tak lama lagi matahari akan kembali membawa terang pada lekuk tubuh buana untuk lenyapkan semua durjana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun