[caption id="attachment_136266" align="alignright" width="234" caption="Laila, kau masih punya mata, kau punya hati. Tunjukkan pada mereka."][/caption] Terkadang, cerita tidak lebih indah dari drama orang-orang lapar. Mereka yang harus mengisi waktu dengan cerita-cerita sangar.
***
Obat nyamuk yang masih menyala, ditempelkan Ibu di tangannya tadi, sekarang sudah dilepas. "Coba nangis lagi. Lidahmu kubakar dengan obat nyamuk ini." Si kecil Ramat masih tersengal-sengal. Terisak-isak. Air mata jatuh deras di pipinya. Wajah Ayahnya kian kuat membayang di pikirannya. Ia terpikir kalau saja Ayahnya sudah pulang dan berada di rumah, pasti Ibunya itu takkan berani untuk menyiksanya demikian. Kerinduan pada Ayah berbaur dengan perih pedih siksa ibu kandungnya sendiri itu tak urung kembali membuat ia tidak bisa menahan suara tangisnya. Euuuuuuuuuueeeeu eu eue eeeuuuuu. Sepertinya ia sudah tidak peduli apa yang akan terjadi. Walaupun tadi Ibunya yang berjiwa serigala sudah mengancamnya. Ia keluarkan saja tangisnya, karena hanya dengan itu ia rasakan hati lebih lega daripada menahan saja. Dan benar saja, perempuan yang dipanggil Mak oleh Ramat sudah bangun lagi dari ranjang. Tanpa ba bi bu, obat nyamuk yang masih menyala itu kembali di ambil perempuan yang menjadi istri Hasan ini. Tangan kirinya menyentuh dagu anak itu. Ibu jari dan jari tengahnya dipergunakan untuk menekan kedua pipi Ramat agar lebih terbuka sampai lidah bocah ini terjulur keluar. Tangan kanan yang memegang obat nyamuk, sekarang sudah berada dekat dengan lidah anak yang pernah dilahirkan pertama sekali itu. Tesssssssssss! Obat nyamuk yang masih menyala disundutnya ke lidah Ramat. Entah karena pengaruh cairan di lidahnya atau karena pertolongan Tuhan. Obat nyamuk yang masih menyala itu padam saat sebentar tadi menyentuh lidah kecil bocah ini. Terang saja, apa yang terjadi kemudian, oleh ketakutan yang amat sangat Ramat berteriak dengan suara melengking. Tangisnya kian kuat terdengar. Sepasang suami istri. Geuchik Sani dan Istrinya yang berada di rumahnya. Selang 5 rumah dari gudang yang menjadi tempat tinggal Laila, mendengar lengkingan suara anak kecil berirama begitu menyayat. "Coba, Pak. Kita ke sana, mungkin anaknya Hasan sakit." "Baik, kita ke sana." Sepasang suami istri itu bergegas untuk beranjak pergi setelah menyiapkan nasi yang dimasukkan dalam rantang lengkap dengan beberapa eungkoet suree teucroeh (ikan tongkol goreng). Karena perkiraan, bisa jadi memang anak itu sakit dan belum makan. Tidak butuh waktu 10 menit, mereka sudah tiba di depan kediaman Hasan. Mengetuk pintu dengan suara yang agak lebih kecil dari suara tangis Ramat hingga tak terlalu terdengar suara ketukan itu di telinga Laila. "Kah ka pikee jeuet ka meumanja ngoen kee? Ku sipak-sipak ntreuek ka jak bak kuk keudeih. (Kau pikir kau bisa bermanja-manja denganku? Kusepak-sepak nanti baru kau tahu biar kau mengadu ke Bapakmu sana)." Semua ucapan Laila itu tidak terlalu terdengar di telinga Geuchik Sani dan Istrinya yang berdiri di depan pintu. Kecuali irama bentakan dari perempuan yang tak lain suara Laila sendiri. Diketuk kembali pintu berbahan papan yang terlihat ada bekas semen yang mengering. Papan yang memang bekas cetak pondasi saat pembuatan meunasah. Ketika tangis Ramat mereda sekira 10 menit kemudian baru terdengar deheman dari dalam sebagai isyarat empunya rumah mendengar ketukan itu. Mengintip sejenak lewat celah-celah papan dinding depan rumahnya. Laila menangkap siluet sepasang suami istri yang berdiri di pintu. Walaupun hanya terlihat bayang hitam, tapi Laila hafal bahwa itu adalah kepala desa. Segera ia melepas pacoek, kunci yang hanya berupa papan seukuran 3 jari dan dilekatkan dengan paku yang hampir seukuran kelingking. Tidak tahu bagaimana caranya, jika di depan anaknya tadi Laila hanya merengut, berwajah masam penuh marah lengkap dengan caci maki. Sekarang di depan orang nomor satu Gampoeng Pulo Raya itu, seketika wajahnya berubah sumringah, ramah. Andai tidak terhalang oleh gelap malam yang memang tidak ada listrik. Di wajah itu sedang mekar satu senyum yang begitu lepas. Apalagi setelah mata perempuan ini tertumbuk pada jinjingan di tangan Inoeng Geuchik. "Tamoeng, tamoeng Cek, Mak Cek (masuk, masuk Cek, Mak Cek)." Sambut Laila sambil membuka pintu lebar-lebar sampai kalah lebar dengan hatinya sendiri. Segera pula, ia mengambil panyoet, lampu dengan minyak tanah terbuat dari kaleng bekas lem tambal ban. Satu-satunya lampu yang bisa dinyalakan, karena panyoet satu lagi yang juga ada tapi sedang tidak ada minyak. Praktis, Ramat yang masih terisak-isak di dalam harus rela duduk dalam gelap, walaupun ia sebenarnya ketakutan. Digelarnya tika bloeh sambil menggendong Jannah yang tadi terjaga oleh tangisan Ramat. "Tadi, benar Ramat yang menangis?" Tanya Inoeng Geuchiek. "Iya, Mak Cek. Tadi awalnya dia bilang sakit perut. Sudah saya kasih minyak tanah di perutnya, mungkin masuk angin. Sekarang sudah agak diam. Saya tadi memang marah Mak Cek, lagi juga Bapaknya belum pulang-pulang udah jam segini. Mungkin saja Hasan sedang sibuk dengan perempuan lain di luar sana." Jelas Laila sambil memonyongkan bibirnya yang tidak merah lagi. "Itu, La. Tadi Mak Cek dengan Pak Cekmu ini ikut susah juga dengar suara tangisnya Ramat. Pikir mungkin ia belum makan. Dan bener saja, dia sakit perut mungkin lapar. Makanya Mak Cek bawa juga bacut (sedikit) nasi dengan sedikit ikan nih. Ajak Ramat makan..." "Sebenarnya Ramat sudah makan Mak Cek. Karena dia tidak mau sabar, dan beras sudah hampir habis. Bapaknya juga tidak pernah cukup kasih uang belanja. Tapi, kasihan lihat dia, saya masak langsung beras yang sedikit dengan oen pakue (daun pakis) yang saya ambil dari pinggir parit dekat sawah. Saya goreng untuk mereka makan saja dulu berdua. Saya tunggui Bapaknya saja dulu..." Sesekali mata Laila melirik rantang yang sudah berada dekat dirinya sambil menduga-duga apa saja isinya. "Memang gitu, La. Mendahulukan anak terlebih dahulu memang lebih baik daripada kita biarkan mereka lapar. Bisa-bisa kita kelak tidak bisa tanggung jawab di depan Tuhan waktu hari kiamat. Kan anak ini amanah..." "Iya, Mak Cek." "La..." Sela Geuchik Sani yang dari tadi hanya diam saja menatap api panyoet yang meliuk-liuk."Lelaki, sebenarnya semua sayang istri. Buktinya kalau tidak sayang mana mau tidur dengan istrinya. Biar lakimu juga makin sayang, tepat sekali kamu selalu lebih dahulukan anak. Lagipula, kalau kamu bisa sayangi anak-anakmu dengan baik, kamu pasti juga tidak lupa kalau kita kelak pasti tua. Ya lihat saja seperti Cek dan Mak Cekmu ini yang ka puteh oek (sudah beruban). Saat sudah tidak bisa apa-apa siapa lagi yang bisa menjaga dan merawat kita kalau bukan anak-anak yang pernah kita lahirkan dan jaga dari kecilnya itu. Kalau bisa, jangan pernah marahi mereka." Diam. Hening. Tak ada yang bicara. Jika sedang bicara demikian lalu terdiam tiba-tiba begitu tak ada yang angkat bicara, orang Aceh kerap mengatakan:"na malaikat teuka (malaikat lewat;terj)." Menarik napas yang agak panjang. Geuchik Sani lanjutkan bicaranya,"Cut Poe Patimah, aneuek Nabi. Gobnyan (beliau), hampir setiap hari selalu minta maaf ke anak-anaknya. Mungkin ada tali timba yang tidak sengaja menyentuh kulit anaknya saat Hasan dan Husen dimandikannya. Mungkin ada kuku yang tidak sengaja menggores tubuh anaknya saat misal sedang pakaikan pakaian anaknya. Ia takut, kalau kelak ketika mati diminta pertanggungjawaban atas anak yang diamanahkan Tuhan padanya. Ke Ali, suaminya, ia juga sangat berbakti, La. Bahkan Cut Poe Patimah sengaja siapkan lidi yang ia siapkan sendiri di pintu kamar. Kalau ia salah, ia meminta Ali untuk pukuli saja dirinya. Itu membuat ia berhati-hati sekali, La. Dari itu malah Ali sendiri tidak pernah memukuli istrinya. Bahkan ia sering membantu Cut Poe Patimah jak prah susu (memerah susu)." "Satu kali, Fatimah bicara dengan pedang Ali, pedang Dzulpaqar, paduem leu darah nyeung ka ilee deungoen kareuna gata? (berapa banyak darah sudah yang mengalir karenamu?). Ali yang baru pulang mendengar Po Patimah bicara mengira ia sedang bicara dengan lelaki lain. Sampai Ali tidak jadi masuk rumah dan pergi ke mesjid saja." "Tahu Ali salah paham, Po Patimah menghadap Ayahndanya, Muhammad rasul geutanyoe. Sampai di sana, Patimah cerita ke Rasul atas apa yang terjadi di rumah tangganya. Tentang salah pahamnya Ali. Tapi tahu apa yang terjadi? Rasul tidak membela puteri yang merupakan anak kesayangan beliau sendiri. Justru beliau perintahkan Patimah untuk kelilingi Ali sebanyak 7 kali. Kalau Ali belum maafkan, Patimah tidak diizinkan untuk datang pada beliau. Meunan, Laila meutuwah (demikian Laila yang baik)." Petuah Geuchik Sani, karena ia menangkap gelagat ada yang tidak beres dari pribadi Laila. Pun ia juga tahu kalau Laila ini dari kecil jarang dengan orangtuanya sehingga untuk nasehat-nasehat saja jarang di dapatinya. Lidah lelaki itu that meu-Aceh (sangat medhok Aceh). Maka huruf "f" di lidahnya bisa berubah "p." Laila memang mendengar semua ujaran suami istri. Tapi pikirannya masih lebih tertarik dengan rantang yang berada di hadapannya, makanya praktik masuk telinga kanan keluar telinga kiri dengan gemilangnya berhasil dipraktikkan Laila. Terangnya, begitu pasangan yang sudah mulai sepuh berkunjung ke rumahnya itu balik badan dan hilang di gelap malam. Pintu ditutup rapat, ia baringkan Jannah yang mulai tidur di sisi Ramat yang masih terisak-isak sendiri. Dalam beberapa detik, ia sibuk melahap nasi dan ikan tongkol yang jarang-jarang bisa terbeli oleh keluarga ini. "Pantak bue keudeh. (ke sana, kau makan)." Perintahnya pada Ramat sambil menghentak kepala bocah yang masih larut dengan sedihnya itu, setelah ia sendiri selesai makan dengan kenyangnya. Sebenarnya dalam etika Aceh, penyebutan "pantak" untuk menyuruh makan, dirasa sangat tidak layak. Tidak santun dan jelas tidak mendidik ketika diucapkan apalagi di depan anak-anak. Selain tidak berani membantah, Ramat juga merasakan perutnya lapar. Sesaat ia menatap wajah ibunya yang sama sekali tidak sedikitpun memperlihatkan rasa sayang pada dirinya. Lalu mengambil panyoet. [caption id="attachment_136270" align="alignleft" width="263" caption="Jika saja, kau adalah Laila"][/caption] Tap, plak! Tangan tidak lembut milik ibunya sudah singgah, memukul di punggung dekat pundak. Nyaris saja panyoet terlepas dari tangan kecilnya. "Hana ka rangak, adek kah nyan teungeuet! (Tidak kau tengok, adikmu sedang tidur)" Ujar Laila melarang Ramat membawa panyoet. Anak ini hanya meringis sesaat melihat kembali dengan memelas pada wajah ibunya, seakan minta pengertian untuk izinkan lampu bisa dibawanya. 'Pue ka rangak ateueh kee lom! Ka tajoe keudeh laju! (Apa lihat-lihat ke aku! Ke sana cepat!)." Rangak dan tajoe secara cita rasa bahasa Aceh setara dengan penyebutan pantak. "Itu nasi atas meja. Jangan kau habiskan semua. Bukan kau saja yang punya perut." Teriak ibunya ketika kaki kecil Ramat sudah melangkah ke luar kamar sambil meraba-raba. Tapi, ia hafal setiap sisi rumahnya yang memang kecil itu. Sekalipun dengan ia harus meraba, tetap saja ia bisa tahu letak makanan yang dimaksud ibunya itu. Secara tidak sengaja, karena memang gelap, tangannya menyentuh piring bekas makan ibunya. Jatuh. Prangggggggg! Jatuh di atas kursi. Walaupun hanya kayu tapi kursi itu cukup bisa pecahkan piring kaca yang memang tipis itu. Mendengar suara itu, Laila terbangun lagi dengan marah karena ia tahu sebuah piring yang tadi pakainya untuk makan, pecah. Dibawanya panyoet ke arah Ramat hendak makan. Wusss...... Derghhhhhhhhh! Lampu dari bekas kaleng lem itu sudah terlempar dan mendarat di kepala Ramat. Tepat di sisi belakang kepala bocah ini. ———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh 21. Darah Pelanggan Raja Singa 22. Perempuan Itu tak Berbaju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H