Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Negeri Bangkai

10 November 2009   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_23893" align="alignleft" width="300" caption="Nyanyikan dengan damai pada bumi, untuk tenggelamkan pemilik tubuh-tubuh busuk"][/caption]

Maaf, jangan katakan apapun. Aku sedang membelah dadaku agar bisa melihat isinya. Mungkin juga hatiku sudah membusuk

Terlalu banyak kebusukan terjadi. Tidak sedikit manusia yang masih bisa tertawa. Iya, tertawa dalam pelukan aroma-aroma busuk yang hari ini telah semakin menyengat. Mereka mengangguk pada teori,"bila sesuatu sudah terbiasa, maka sebusuk apapun sesuatu. Kelak juga bau busuk itu tidak akan menjadi hal yang mengganggu lagi." Ditengah kebusukan itu, sebagian yang masih memiliki lobang-lobang hidung yang masih lebih bersih, mencoba untuk sadarkan mereka."Hai, ayo, bau ini harus dihilangkan. Atau kita menjauh dari sini." Lantas bermunculan berbagai retorika, bermacam argumen. "Bau busuk ini bukan suatu masalah besar toh? Asalkan kita bisa bertahan." Mereka kemudian menciptakan piagam untuk diri sendiri,"aku adalah pahlawan tangguh. Bau busuk ini tidak membuatku terganggu." Tidak berselang tahun, mereka sudah mengatakan bahwa bau seperti itu sebagai sesuatu hal yang normal. "Ini merupakan hal yang wajar." Kata mereka pada beberapa koran. Pada saat yang sama, sebagian kecil mencoba untuk mencari sumber-sumber aroma bau tersebut. Tetapi mereka juga selalu berselisih. Malah mencoba untuk selalu bisa menyikut dengan cerdas. Bilapun harus membunuh, mereka menggunakan filosofi:"bunuhlah dengan cerdas. Engkau tidak akan dicatat sebagai pembunuh. Ini bukan persoalan keji dan tidaknya. Tapi bagaimana membuka segala keran kemungkinan dengan semua hal yang paling mungkin dan logis. Jikapun ada yang mati, toh yang menjadi pemilik hak untuk mencabut nyawa tetap Tuhan. Aku hanya menikam mereka, Tuhan yang mematikan mereka. Bukan aku. Tolong diperjelas pada media-media, pada semua koran dan televisi tentang hal itu." Ah, andai saja langkahku sedang tidak terayun gontai, tentu telapak kaki ini akan menendang kepala mereka yang dengan wajah berwibawa mengatakan kebatilan sebagai kebenaran.

***

Berapa kuntum mawar yang bisa tumbuh ditengah semua aroma busuk itu. Bila bau-bau busuk itu terus saja ada, tanpa ada yang mencoba untuk menghilangkan dengan segala keperkasaan, aku cemas kelak aroma mawarpun akan terasa sama dengan bau bangkai. Mungkin untuk malam ini, sembari mengembalikan tenaga yang hilang, kucoba tuliskan puisi kecil,"keperkasaan tidak hanya menjadi seragam perang kaum lelaki."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun