Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Pinggiran

20 April 2010   15:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:41 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_123005" align="alignleft" width="300" caption="Mereka juga perempuan bersama nasib yang juga tertulis di badan (Gbr: suara merdeka)"][/caption] Emansipasi bukan untuk mereka. Karena ada hal yang lebih penting, nasi. Iya, mereka itu berada dalam labirin hidup yang jauh dari kesempatan untuk bisa merasakan kehidupan sebagai perempuan yang dihargai. Jangankan oleh suami sendiri, oleh manusia yang sejenis kelamin dengannya juga jarang bisa mendapat meski sekedar empati. Sama sekali mereka tidak tertarik dengan berbagai teori, karena setiap hari hanya berpikir seperti apa hari ini dirinya bisa mendapat meski hanya sebungkus nasi. Tentu saja, mereka juga tidak berselera untuk menelan buku-buku tebal walaupun karena alasan untuk lebih meningkatkan citra  diri bahkan harga diri. Lha, bagaimana ia bisa memakan buku-buku itu karena memang tidak ada nama aksara satupun yang sempat terhapal di kepalanya. Tetapi, satu hal yang kukagumi dari perempuan-perempuan itu, mereka tidak pernah menyesali diri. Perempuan Desa Sedikit kusisipkan tentang perempuan yang masih melenggang pinggulnya bukan untuk belajar tari [caption id="attachment_123011" align="alignright" width="300" caption="Gbr: Suara Merdeka"][/caption] balet. Tapi menapaki jalanan yang diapit jurang, jauh di sana di gunung kampung, hanya untuk menderes karet. Biasanya mereka adalah perempuan janda yang tidak mempermasalahkan dirinya ditakdirkan sebagai perempuan jelata. Langkah kakinya tidak kalah dengan lelaki yang menyebut diri perkasa. Mereka merambah hutan, menapak jalanan rimba yang terkadang terancam dengan babi hutan bahkan macan. Oya, tidak ketinggalan juga ancaman gajah yang cukup bisa membuat remuk seluruh badan. Tetapi nasib ditulis oleh Tuhan dan mereka menjalani dengan semua yang mereka bisa. Sama sekali tidak ada sedu sedan. Sebagian mereka menjadi buruh untuk cuci pakaian, milik tetangganya. Di sungai-sungai yang tak lagi jernih, dibawah matahari yang tak sekedar memberi cahaya, tapi malah ikut kejam membakar badan. [caption id="attachment_123020" align="alignleft" width="300" caption="Gbr: Suara Merdeka"][/caption] Berharap besok pagi cukuplah sekedar bekal anak ke sekolah dengan sedikit bekal jajan. Ada juga yang menjadi buruh tani, menikmati lumpur untuk dapatkan rupiah meski seringkali saat menakar keringat dengan uang diperolehnya, sangat jarang sepadan. Tetapi memang nasib sudah mengajaknya untuk tetap rela bersebadan, menerima dan menjalani semua beban dengan senyuman dan keikhlasan. Perempuan desaku adalah perempuan yang cukup membanggakan. Seperti halnya satu perempuan, ibuku, yang juga kubanggakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun