Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suara dalam Bisu

13 April 2010   14:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117708" align="alignleft" width="300" caption="Jangan hanya terbang. Sesekali diam dan lihat (Gbr: firstpeople.us)"][/caption] "Bisakah kau beritahukan padaku tentang cara hidup?" "Tidak. Sebaiknya kamu cari cara sendiri. Itu lebih baik untuk lebih menguatkan kesejatian di dalam dirimu." Terdiam. "Ini bukan karena dirimu tidak ingin agar aku bisa setara denganmu bukan?" Seribu lelaki menuli lalu benar-benar mati.

***

Dari selangkangan seorang wanita, bayi-bayi keluar dengan takut-takut. Ketakutan yang membuat mereka meneriakkan tangis melengking. Tangisnya tidak membuat mereka berkeringat dosa yang kebetulan melihat kemunculannya jatuh iba. Justru mereka tertawa. Tapi, tawa itu sebenarnya adalah penghargaan, yakini saja demikian. Tetapi, jangan terus menerus percaya bahwa setiap tawa adalah kejujuran. Setiap derainya mencerminkan sambutan hangat atas kedatanganmu. Jangan percaya itu. Sebab, kadangkala tawa itu hanya lonceng yang dipukul bertalu-talu untuk membuatmu tuli dan tergugu, bahkan mungkin saja selanjutnya kau pun menjadi gagu. Apakah menapaki jalanan antara percaya dengan tidak percaya menjadi jawaban yang paling tepat? Sekali lagi, akupun tidak tahu, maka aku memilih untuk tidak kau sebut sebagai guru. Cuman, saat beberapa jenak lalu aku melihat pada perjalanan waktu yang juga telah berlalu. Aku ditunjukkan, entah kenapa, teramat jarang warna putih yang kulihat benar-benar berwarna putih. Malah, hampir selalu saja, di sana terdapat titik yang membuat pandangan terasa terganggu. Makanya jangan ikutiku. Terlalu jujur melihat itu membuatku berjalan seperti gadis yang termalu-malu. Sebaiknya engkau belajar saja pada para ksatria perang yang melihat hidup dan mati sama saja. Mereka tidak takut untuk hidup juga tidak merasa ngeri jika ditakdirkan harus mati. Setahuku, demikianlah sejatinya seorang lelaki. Also Published in: Catatan Elang, Merekam untuk Menerkam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun