Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Membunuh Pelacur

10 Februari 2010   23:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_72029" align="alignleft" width="300" caption="andalas itu negeri peri (Gbr: Google)"][/caption] Pelacur sedang transaksi dengan calon pelanggan. Saat langkah kaki terayun di salah satu jalan malam, di negeri Andalas. Sebuah negeri yang pernah menulis banyak kisah ngeri, acap bercinta dengan tragedi. Andalas, mungkin karena aku menjadi bagian dari setan alas yang biarkan sebuah rindu tak berbalas. Kalimat itu melintas, berkelebat, melipat penat untuk sesaat. Saat suara pelacur tadi terdengar dengan tak tersengaja. Andalas, kenapa kau melacur? Sedang aku sedang menyimpan rindu yang kuharap satu ketika kelak meluncur setelah memancar serupa air mancur. Kenapa kemudian malah kau beringas dengan sepotong rotan sebesar lengan, memukulku saat langkah itu seharusnya tetap terayun. Andalas, aku benar-benar merasakan diri menjadi setan alas. Setelah seribu rambutku tercerabut hanya untuk menjadi alas kaki. Sedangkan kau, terus saja melangkah dengan kekejaman yang membuat seribu mata hanya bisa menatap dengan memelas. Seribu kebaikan menjadi sekedar catatan yang begitu saja menghilang tidak berbekas. Karena itukah maka engkau dipanggil Andalas? Entahlah dan masih entahlah. Langkah itu akan tetap terayun setidaknya bisa punah semua resah. Logika yang bisa kuurai mungkin belum cukup kuasa membuat tubuhmu menjadi basah. Para pejalan kaki yang sedang bersamaku menelusuri seribu lorong di luar pesona tubuhmu yang masih serupa perawan itu, mencoba untuk arahkan mata pada satu titik tatap yang tak hanya mengarah pada atap ratap. Andalas, perjalanan ini mungkin menjadi gada yang akan melumatkan kepala dan lemahkan sorot mata mereka, yang masih melihatmu hanya dengan nafsu, serupa tatap pelacur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun