Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masturbasi Mantera Basi

26 Januari 2010   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:15 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_61288" align="alignleft" width="209" caption="cinta takkan terlihat hanya dengan mata, kerendah-hatian takkan terlihat serupa sketsa (Gbr: Google)"][/caption] Kukira bukan irama jazz saat manusia melenguh sendiri sepenuh birahi, sampai mendatangkan api mengobar dari setiap pori. Sedangkan benci malah seringkali terpandangi sebagai mantera untuk ribuan trisula sakti.

***

"Patih, Palapamu sudah ditelan angin, tak ada lagi kebanggaanmu, saudaraku."

Aku sama sekali tidak pernah pedulikan apa yang terjadi dibelakangku duhai para durja, jika kalian sendiri yang memilih untuk lobangi sampan-sampan yang mestinya mengantarkanmu, pada pulau-pulau yang berisi mimpi yang tak lagi sepi. Demi seribu nusa, demi seribu Dewa, demi seribu airmata aku tak pernah merasa murka atas apapun yang terjadi. Kerisku hanya kulesakkan dalam dadaku ketika kesalahan itu adalah kesalahanku. "Sia-sia perjuanganmu Patih. Sepertinya kau hanya sesumbar saja pada Baginda." Hah, aku lelaki. Yang sudah belajar huruf-huruf apa untuk membentuk kata lelaki. Kau sebut sesumbar, kau sebut kepongahan. Tetapi, medan perang tidak membutuhkan kelembutan. Aku juga sudah sering katakan pada seluruh balatentara bahkan terdengar oleh semua Dewa, tempatkan marah saat harus marah, tempatkan murka bila harus murka. Tuhanpun mengizinkan diri-Nya murka saat harus murka. Takkan ada kata kesia-siaan untuk seorang lelaki yang percaya bahwa diamnya adalah pergulatan nurani untuk taklukkan keangkuhan yang sebenar keangkuhan, yang selalu mencerabut tiang-tiang kemunafikan. Perjuangan ketika itu tetap dilakukan masih akan tetap terus lebih berharga daripada diam dengan alasan surga sekalipun, kau pasti pahami itu! "Patih, yakinkah engkau sudah mengenal cinta yang sebenarnya seperti apa? Kau sepertinya sudah mabuk dengan kebanggaanmu sendiri." Kemarikan kepalamu untuk kubenturkan pada karang. Agar lepas tempurungnya untuk dicicipi serigala luka. Mungkin mereka akan mengenal semua madah sabdamu. "Kau marah?" Izinkan aku diam "Patih, Kau ingin kembali menceracau?" Aku menceracau bukan untuk menumbuhkan bunga-bunga yang membuatmu tertidur. Tidak untuk patahkan tiang-tiang pulau yang sudah berada di mulut samudera lapar. Aku menceracau untuk tidak ada satupun yang mencari alasan dan pembenaran untuk mengigau. "Ah, sepertinya masih ada tanyaku yang belum engkau jawab, Patih" Engkau tidak butuh jawaban, yang perlukan hanya pengakuan bahwa engkau lebih tinggi di sisi para dewa. Aku hanya seorang patih yang sedang belajar untuk menjadi manusia bersih. Mencoba untuk tidak ada satu keratpun kulit mayat-mayat yang mengelupas terus melekat di tubuh rentaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun