[caption id="attachment_28128" align="alignleft" width="300" caption="Jika sudah disini, apakah yang telah tertulis disana? (fickar09)"][/caption]
Aku tidak takut berikanmu napasku. Karena Tuhan telah berikanku sehelai nyawa yang takkan tercerabut hanya karena napas yang kuberikan padamu
***
Malam terlihat agak buram. Mungkin karena memang langit yang begitu penuh dengan warna-warna yang tidak jauh dari hitam kelam. Sedangkan di televisi sedang berlangsung acara tentang rakyat dan pemerintah yang dikecam. Sesekali terlihat beberapa politikus berbicara dengan irama dendam. Aku sendiri sedang berada disisi matahari yang nyaris padam, Bersama dengan seorang sahabat yang tidak sempat merasakan indahnya menjadi lelaki. Aku mengenalnya sejak ratusan tahun lalu. Ia, Zheng He, beberapa rekan di bumi mengenalnya dengan panggilan Cheng Ho. "Benar, aku sudah dikebiri sejak masih muda. Sehingga aku tidak bisa menikmati seperti apa menjadi seorang lelaki yang sesungguhnya." Ujarnya membuka pembicaraan. Seakan ia tidak terbeban dengan nasibnya yang dimataku terlalu buruk harus dialami seorang lelaki segagah dia."Sebentar, kukira, karena kita memiliki guru yang sama, aku ingin mengajakmu dulu kerumah beliau. Nanti saja ceritaku kulanjutkan." "Baik, Saudaraku." Jawabku mengiyakan.
***
Tidak perlu waktu yang berjam-jam. Aku bersama saudaraku Cheng Ho sudah berada di dalam sebuah rumah yang nyaris semua warnanya memiliki corak kemerahan yang sangat kental."Ini rumah guru kita, Lao Tze. Mereka yang dibumi banyak juga yang menyebutnya dengan Lao Tzu." "Iya, aku tahu itu." Ujarku mencoba menghindari diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Lantas kucoba mengajaknya bercanda. "Memang dulu engkau tidak pernah tertarik untuk mencintai wanita?" "Aku lelaki. Aku sangat menyadari posisiku sebagai seorang lelaki yang normalnya memiliki ketertarikan kepada lawan jenisku, tertarik kepada wanita. Pertanyaanmu sangat logis memang. Tetapi aku sangat mencintai pengabdian. Sehingga saat Kaisar memintaku untuk kebiri dengan ekspresi perintah. Aku tidak merasakan rasa ngeri sama sekali. Aku tidak dendam sedikitpun dengan keputusan beliau."
***
Tiba-tiba saja masuk seorang lelaki tua dengan jenggot putih memanjang bermata sipit. Jauh lebih sipit dari mataku. "Akulah Gurumu yang selalu kau banggakan. Aku tahu itu dari malaikat-malaikat yang menyapaku saat tadi aku sedang mencoba untuk bicara dengan Tuhan." Ditangannya terlihat 4 cangkir berisi minuman. Kukira itu adalah teh. Kemudian, sedikit kurasakan kebingungan karena disana yang ada hanya kami bertiga. Aku, saudaraku Cheng Ho dan Guruku, Laotze. Seperti membaca semua yang terbetik di pikiranku. Ia langsung angkat bicara."Tidak perlu bingung. Tidak ada yang harus dibingungkan. Seperti aku tidak pernah bingungkan kau. Padahal aku tahu kau telah berguru juga pada Rumi dengan semua sajak-sajaknya yang telah kau tanam dalam hatimu. Kau simpan rapat di lemari-lemari hatimu." Meski dengan irama datar, namun aku sangat merasakan kekuatan dari kata-katanya. "Aku tahu. Dan seorang guru tidak akan pernah meminta muridnya untuk hanya miliki seorang guru. Sebab seorang guru saja, secerdas apapun seorang guru tersebut. Tetap tidak akan bisa memberikan kebijaksanaan. Karena, seorang guru saja hanya mampu membuatmu cerdas. Tetapi tidak akan pernah membuatmu bijaksana. Dan kau harus bisa bedakan antara cerdas dengan bijaksana. Kecerdasan dan kebijaksanaan memiliki keterpautan. Hanya saja kecerdasan tidak mampu memberikan kedamaian apapun. Berbeda halnya dengan kebijaksanaan." "Aku menyukai persahabatanmu dengan Cheng Ho. Kau berbicara dengannya selama beratus-ratus tahun. Tetapi kau tidak tahu kalau dia adalah lelaki yang tidak memiliki sehelai benangpun. Iya, dia telanjang saja tidak memakai pakaian apapun. Aku tahu alasannya memiliki seperti itu. Karena dia begitu meyakini, terdapat banyak sekali pelajaran kebijaksanaan dari setiap inci tubuhnya. Ia lelaki yang mampu melihat dengan matanya pada setiap lobang yang ada di pori-porinya." "Dan terbukti, ketika ia di bumi, ia tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang raja. Namun ia memiliki jejak di jengkal-jengkal bumi yang disinggahinya. Ia mencintai semua yang dilakukannya. Ia menerjemahkan pengabdian dengan telanjang." Ujarnya santun sembari memberikan cangkir minuman yang dibawanya.
***
"Aku nyaris lupa. Ini bukan minuman jenis teh seperti yang kau kira. Tetapi ini adalah tuak yang kumintakan pada Jibril sesaat tadi berbincang-bincang dengan Rumi. Rumi katakan padaku, bahwa dia telah lebih dulu tahu bahwa kau akan mengunjungiku. Maka dia tawarkanku untuk berikanmu segelas tuak syurga. Sekalipun memabukkan. Namun tuak ini tidak akan memberikanmu ketololan serupa dengan ketololan yang dilakukan pemabuk di dunia sana. Mabuk yang diakibatkan dari menenggak tuak ini akan membuatmu seperti Rumi. Ia telah berhasil mabuk dengan cinta yang begitu sejati. Sehingga orang-orang bijaksana menyebut Rumi sebagai manusia yang bijaksana dengan sempurna. Akupun salah satu yang mengakui itu." Dalam batin, aku menertawakan diri sendiri. Karena awalnya aku mengira filsuf seperti guruku ini tidak banyak bicara. Kemudian kucoba pahami,"silahkan saja untuk banyak bicara jika telah memastikan semua yang dibicarakan memiliki makna." Pikirku sambil menenggak habis secangkir tuak yang diberikan guruku Lantas terdengar deheman dengan suara berat, milik Cheng Ho."Aku merasa sangat berterima-kasih pada guru. Pujian engkau padaku, kuyakini juga bisa menjadi sebuah pelajaran tersendiri pada saudaraku ini, guru. "Aku tersenyum saja kalau menyimak lelaki di bumi pada hari ini. Menggadaikan harga diri, menelantarkan kebijaksanaan dan nurani. Itu semua dilakukan karena permasalahan perut dan bawah perut. Dari itu, aku malah kemudian semakin yakin pada pilihanku untuk tetap menerima takdirku menjadi lelaki yang dikebiri pada zaman Dinasti Ming menguasai negeriku. Dalam sejarah, tidak akan kau temukan sebuah catatan apapun tentang hubunganku dengan perempuan. Kendati aku juga bisa memiliki perasaan terhadap mereka. Aku tidak terlalu butuhkan itu. Dan kau sendiri, saudaraku. Pasti telah membaca, bahwa tidak ada satupun catatan serius tentang hubunganku dengan wanita." "Kenapa? Karena kehormatan sebagai ksatria jauh lebih berharga dari sekedar kenikmatan tubuh mereka. Akupun berpikir, seorang lelaki yang menghormati wanita. Ia tidak akan cuma menjadikan perempuan sebagai bagian pelampiasan birahinya. Tetapi ia akan menghormati kehormatan wanita itu sebagai manusia. Meskipun ia takkan mendapatkan kenikmatan tubuh wanita yang sering membuat lelaki rela pertaruhkan nyawanya." Guruku, Laotze hanya mendengarkan saja ujaran saudaraku, Cheng Ho. Ia tidak mencoba untuk menyela sedikitpun saat Cheng Ho angkat bicara. "Seharusnya, wanita tidak hanya dipandang sebagai pemilik nikmat yang disajikan untuk kita kaum lelaki." ujarnya seperti mencoba memberikan kesimpulan. "Aku, menikmati semua yang kuperjuangkan dengan cinta. Mungkin iya, aku pernah tercatat sebagai pemberontak. Aku pernah menelikung Kaisar yang menjadi penguasa dan memilih untuk menjadi bagian dari laskar perang untuk membantu raja kecil. Aku tumpahkan banyak darah disana tidak untuk kekuasaan, tetapi semata-mata karena alasan cinta. Menjadi pemberontak terhadap kezaliman kuyakini sebagai kemuliaan, dan itu juga cinta. Dan aku tidak lebih dari anjing pemakan sampah, bila berjuang hanya untuk sekerat kekuasaan. Aku menemukan kemuliaan ketika aku mengagungkan cinta. Sebuah cinta yang tidak hanya terdefinisi pada paha-paha beribu wanita."
***
Cheng Ho lanjutkan pikirannya padaku dengan nada lumayan lembut, meski suaranya berat "Bila sedikit kucoba untuk bicarakan wanita, sekali lagi lihatlah kehormatan mereka. Jangan hanya melirik pada paha bersih mereka. Karena cinta dalam keyakinanku adalah kehormatan. Ketika mereka mengumbar kata-kata indah tentang cinta. Sama saja mereka tidak tahu apa-apa disaat mereka lupa mendudukkan kehormatan sebagai hal paling mahal. Hal yang lebih berharga dari sekedar nyawa. Satu lagi, ketika seseorang sudah melakukan kehinaan, sebaiknya engkau jauhi. Karena disana engkau tidak akan mengenal kemanusiaan. Melakukan kehinaan-kehinaan akan menjadi senjata pembunuh, untuk nurani. Tidak akan ada karya terlalu besar yang bisa dihasilkan dari setiap kehinaan yang dilakukan. Tidak ada sesuatu yang terlalu berharga yang bisa dihadirkan oleh siapa saja yang melakukan kehinaan. Kukira kau bisa terjemahkan semua yang kuucapkan." Segelas tuak yang baru saja kutenggak habis membuat kepalaku berputar-putar dan kurasakan panas di perutku. Justru kembali Guruku angkat bicara,"Cheng Ho sudah terjemahkan pilihan ketelanjangannya. Kaupun mabuk, itu lebih bagus untuk tidak membuatmu terpikir menghina saudaramu. Dan kau hanya mendengar kebenaran yang diutarakannya. Baiklah. Aku harus kembali temui Rumi. Kalian pulanglah. Kau tak perlu sedih kendati saudaramu itu tidak mengantarkanmu hingga ke bumi lagi. Karena, saat untuk dia telah selesai. Giliran untukmu tebarkan cinta ke wajah bumi dengan semua yang kau bisa." Tanpa ada niat untukku bertanya. Langsung saja kuciumi wajah tua itu dan kupeluk Cheng Ho, saudaraku sebelum aku pulang kembali keduniaku. Kucatat di awan," Aku tidak takut berikanmu napasku. Karena Tuhan telah berikanku sehelai nyawa yang takkan tercerabut hanya karena napas yang kuberikan padamu." Berharap angin malam yang mengantarkanku pulang bersedia menjemput kata itu kembali jika besok pagi aku terlupa. Note: Mungkin ini hanya lamunanku mengisi malam. Semoga kelak bisa menjadi purnama penikam pekat. Dan kau leluasa telusuri jalanan kehidupan yang kian kelam. Salam CInta Zulfikar Akbar Meulaboh. Pada tanggal yang sudah tak kuingat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H