Aku ketika itu sedang berpeluh dalam Perang Barathayudha
Menyerang dan membantai jelmaan raksasa buta Seragam perang telah musnah berganti luka menganga Sedangkan matahari bernafsu melumatku tanpa iba Tapi, mataku masih bisa menoleh tubuhmu terbaring indah dilangit sana Anggun menghias langit serupa peri yang tersenyum manja Dalam semua balutan luka, kau tiba-tiba datang mengecup bibirku dengan sepenuh cinta Mengusap peluh dan darah didadaku hingga akupun pulas terpana Belaianmu bangunkan aku untuk tidak mati terbawa rasa Kau telah ingatkanku kembali sebagai prajurit dari laskar perang untuk kuburkan sejarah durja Sambil melangkah gemulai menghalangi tamparan-tamparan matahari hingga senja Entah Kau tahu, senyum yang kau kirim siang itu membuat rindu kian meraksasa Dari atap cakrawala kau ajak aku bicara Sedangkan tangan dan kakiku masih meradang membantai mereka Kau bicara tentang kebijaksanaan yang selalu kuasa tutupi semua luka Ah, kau membuat perang dan rindu semakin membara saja Dalam tikaman musuh-musuh yang kian membabi buta Seulas senyum kau kirim kembali menjadi berlembar-lembar nyawa Membuat musuh-musuhku terbaring lunglai menulis sajak-sajak putus asa Lalu kau kembali tiba bersamaku ke medan perang ini, mengayunkan pedang dalam tarian cinta Liukan tubuhmu menebas tubuh-tubuh para durja kian membuat rinduku meronta Menjadikanmu kukuh untuk layak kusebut sebagai seorang perempuan yang begitu perkasa Tanpa kata-kata aku terangsang untuk mengucapkan cinta Dalam selembar surat putih penuh yang pasti kau baca sepenuh rasa Disini, akupun sedang coba menulis ulang sejarah Mahabarata Meulaboh, 02 Nop 2009 (untuk: Perempuan Bijaksana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H