Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Memahami Penolakan Mahasiswa ITB atas Kunjungan Jokowi

18 April 2014   13:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 2765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi itu tidak sopan, itu tidak beretika, itu jauh dari kata santun sebagai seorang intelek? Lupakan itu sejenak. Jika harus memilih antara melakukan hal sopan dan santun tapi justru berekses negatif, maka tidak sopan dan tidak santun, saya kira menjadi pilihan lebih baik.

Ini persoalan karakter. Ini persoalan sikap. Bagaimana jika melihat bahwa keputusan para mahasiswa itu adalah murni keputusan berdasarkan pertimbangan mereka sebagai mahasiswa dan sebagai seorang intelektual? Bukankah itu memang sudah sepatutnya?

Setidaknya, jika bersedia mencari sisi positif dari sikap para mahasiswa itu, terdapat beberapa hal positif yang bisa dijadikan pelajaran:

Independensi Intelektual

Independensi tentu identik dengan kebebasan. Tidak terikat oleh apa pun, tidak terpengaruhi apa pun, bisa memilih dengan kesadaran sendiri. Di tengah banyaknya intelek yang konon cerdas namun mengekor dan membebek, para mahasiswa ini memilih membuta sejenak dari tradisi yang menodai intelektualitas itu. Mereka memilih independen, bahwa ini yang kami tahu, dan ini cara kami mengejawantahkan apa-apa yang kami tahu.

Kekuatan Karakter

Karakter yang kuat tentu takkan mencemaskan apa yang akan dikatakan oleh publik. Pukulan dari 'lawan' mereka pun takkan menggoyahkan mereka. Karena tentu, sikap itu adalah metamorfosis dari pemahaman mereka, seperti apa menjadi seorang intelektual yang berani mempertahankan buah pikir yang dilahirkan ke dalam aksi mereka. Apa yang dikatakan oleh orang lain, itu masalah lain. Sebab, lagi-lagi, mereka tentu sadar, jika yang melihat aksi mereka adalah pihak yang memiliki intelektualitas mumpuni akan melihatnya dari berbagai sudut pandang. Takkan ada intelektual yang menghargai intelektualitas yang seketika menjatuhkan vonis negatif atas sikap mereka.

Tidak Ikut Arus

Tentu, para mahasiswa itu tak menutup mata dengan fakta, betapa sosok Jokowi kini menjadi idola publik. Banyak pihak menyanjung dan memuji figur eks wali kota Solo tersebut. Di sini, logika yang mereka gunakan tentu bukan berdasar seberapa populer dan berpengaruh tokoh tersebut. Tapi, lebih pada apa saja dampak jika membiarkan kampus membuka pintu hanya pada kalangan-kalangan tertentu saja yang datang dengan pakaian politik.

Toh, para mahasiswa itu, seperti dilansir media, tidak menutup sepenuhnya pintu kampus mereka terhadap kedatangan Jokowi. Ringkasnya, jika memang yang ingin dilakukan adalah menunjukkan visi misi seorang calon presiden, maka Capres lainnya pun harus diberikan porsi setara: tidak buka pintu untuk satu figur, dan menutup pintu untuk figur lain.

Nah, di sini saya melihat, mereka sudah saat obyektif dengan sikap dan keputusan mereka itu. Maka itu, saya sendiri yang di satu sisi adalah pengagum Jokowi, tapi di sisi lain berpikir bahwa sikap para mahasiswa itu pun pantas untuk dikagumi. (FOLLOW: @ZOELFICK)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun