Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melirik Perempuan dalam Masalah Inflasi

14 Juli 2014   08:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:23 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14052759771305694344

[caption id="attachment_347613" align="aligncenter" width="430" caption="Perempuan proaktif (Gbr: Atjeh Post)"][/caption]

Terdapat sudut pandang menarik yang pernah diutarakan sastrawan Brasil, Paulo Coelho, yang bisa dikaitkan dengan topik apa saja. Ia mempertanyakan, kenapa berbagai masalah serius cenderung mengedepankan perspektif maskulin, atau hanya lewat mata lelaki?

Itulah yang sempat terbetik di pikiran saya, ketika pada Jumat (6/5) hadir di Bank Indonesia, di acara diskusi bertajuk "Ramadhan Harga Stabil". Sebab, mau tak mau, harus diakui, untuk masalah yang berhubungan dengan inflasi sekalipun, pendekatan yang muncul acap maskulin.

Sesuatu yang maskulin, menurut Coelho, tak selalu berbentuk berbagai hal yang dilahirkan oleh manusia berjenis kelamin lelaki. Perempuan, bisa saja maskulin, jika sudut pandang yang ia gunakan tak berbeda jauh dengan kecenderungan lelaki. Seperti halnya lelaki, tak selalu identik dengan maskulin.

Bagaimana mengaitkannya dengan persoalan pengendalian harga barang atau inflasi? Ya, bisa saja mendudukkan perempuan sebagai bagian penting di tengah persoalan itu. Di sisi lain, benar-benar menghubungkannya dengan nilai dalam  pendekatan penyelesaian masalah tersebut.

Mendudukkan perempuan sebagai bagian penting, artinya tentu saja melihat secara eksplisit bahwa cerita soal harga memang tak lepas dari mereka.

Dengan sudut pandang ini, bisa dilihat perempuan sebagai bagian dari pemain utama yang bersentuhan langsung dengan masalah itu. Entah mereka sebagai perempuan karier, hingga ibu rumah tangga. Dalam hubungan jual beli, besar dan kecil, tak bisa ditampik bahwa perempuan cenderung lebih banyak terlibat.

Kebutuhan perempuan akan lebih besar di tengah pusaran masalah harga tersebut. Sederhananya, jika lelaki hanya membutuhkan satu kemeja seharga Rp 100 ribu, maka pengeluaran perempuan akan lebih besar. Mereka bisa saja memiliki pengeluaran 5-10 kali lipat dibanding laki-laki. Ini jika mengaitkannya dengan pemandangan sederhana.

Misal saja, untuk pakaian, saat lelaki cukup dengan satu kemeja, maka perempuan akan membutuhkan tak sekadar sehelai baju. Mereka masih memiliki kebutuhan pakaian dalam yang bisa dipastikan lebih mahal dari lelaki, hingga kerudung--untuk perempuan muslim.

Maka menggali seperti apa perempuan melihat masalah lonjakan harga, layak untuk lebih mendapatkan perhatian. Jika ada teori bahwa satu kepak sayap kupu-kupu di belahan dunia lain, berpengaruh pada badai di belahan lainnya, maka tak berlebihan menyebut perempuan mampu menciptakan dampak atas badai harga.

Apalagi jika mengaitkannya lagi dengan fakta terdekat yang terjadi di Indonesia. Jangan lupa, tak kurang dari 60 persen perempuan Indonesia bahkan menjadi tulang punggung keluarganya. Baik mereka sebagai ibu rumah tangga tanpa suami (janda), atau bahkan sebagai anak. Hal itu pernah diangkat Petani Perempuan-Serikat Petani Indonesia. Tepatnya di acara konferensi Internasional "La Via Campesina", yang berlangsung di Jakarta, tahun lalu.

Lebih spesifik, Radio Australia, per 2013 lalu melansir fakta, bahwa tak kurang dari 7 juta perempuan Indonesia bahkan menjadi kepala keluarga--bedakan dengan tulang punggung.  Jumlah tersebut mewakili tak kurang dari 14 persen dari total keluarga di Indonesia.

Itu secuil dari fakta perempuan yang tentu saja akan bersentuhan langsung dengan persoalan harga.

Lebih jauh lagi, terdapat penelitian yang menyebut bahwa pengeluaran perempuan per tahun bisa mencapai lebih kurang Rp 50 juta. Bagaimana dengan lelaki? Dari sisi pengeluarannya, lelaki hanya berada di kisaran Rp 30 jutaan. Artinya, pengeluaran perempuan nyaris dua kali lipat dibandingkan lelaki. Pengeluaran tersebut baru dari sisi pakaian dan kebutuhan perawatan badan. Belum lagi kebutuhan lain-lain.

Penelitian lain menyebutkan, salah satu problem berkait dengan perempuan adalah, terdapat sekitar 75 persen perempuan tak memiliki pemahaman atas perencanaan keuangan. Siapa menampik bahwa fakta-fakta itu, sedikit banyaknya akan berpengaruh pada fenomena lonjakan harga?

Di sisi lain, harus diakui, perempuan Indonesia terbilang proaktif dalam mencari solusi di tengah keruwetan itu. Mereka tak tinggal diam. Beberapa tahun lalu, saat saya masih kerap berhubungan dengan salah satu lembaga pemberdayaan perempuan, Kalyanamitra, saya terkagum-kagum saat diperlihatkan dengan banyak langkah aktif dilakukan perempuan. Salah satu di antaranya adalah, mengimbangi pengeluaran dengan berproduksi.

Kalyanamitra, juga menjadi salah satu lembaga, yang saya simak getol melakukan berbagai program yang berhubungan dengan perempuan. Tak terkecuali di daerah saya berasal, Aceh, pasca-tsunami 2004 hingga beberapa tahun kemudian. Mereka rajin turun hingga ke pedesaan, membina perempuan, memberikan pendidikan perempuan, hingga mengajarkan berproduksi.

Setidaknya, apa yang diperlihatkan perempuan lewat pendekatan yang dilakukan lembaga Kalyanamitra, sedikit banyaknya sudah memberi solusi, meski secara perlahan dan tak berdampak positif dalam sekejap.

Maka itu, mencoba merenung-renung hal ini, saya berkesimpulan, perhatian lebih serius terhadap dimensi perempuan akan menjadi hal sangat vital. Tak terkecuali, dalam urusan yang berkenaan dengan fenomena inflasi tersebut.

Dari sisi ini, memang pemerintah pun memiliki beberapa program yang mengarah pada usaha agar perempuan bisa berproduksi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan, acap melakukan program berkait dengan ini. Tapi spesifik berbicara soal fenomena inflasi, saya belum menemukan informasi, bahwa Bank Indonesia juga merangkul kementerian tersebut.

Atau paling tidak, BI melakukan berbagai langkah lebih detail dalam kaitan dengan pengaruh perempuan di tengah fenomena itu. Terpenting lagi, perempuan tak sekadar menjadi sasaran dari sekian banyak kebijakan terkait. Melainkan, terdapat langkah konkret pelibatan langsung perempuan dalam usaha pengendalian inflasi.

Saya berkeyakinan, sudut pandang ini sudah lebih dulu terpikirkan oleh pihak BI sebagai bagian paling menentukan di balik misi pengendalian inflasi itu. Namun, entah karena saya kekurangan informasi, tapi belum terlihat program-program dengan indikator terang, bahwa pelibatan perempuan dalam usaha itu sudah maksimal. (FOLLOW: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun