[caption id="attachment_348871" align="aligncenter" width="490" caption="Gbr: AWDI-Online"][/caption]
Pelacuran kerap diidentikkan sebagai profesi hina. Itulah pilihan mereka yang menjual sesuatu yang paling berharga, kehormatan dirinya sebagai manusia, dengan harga murah. Tapi, pekerjaan itu tak melulu dilakukan mereka yang memang tak bernasib baik untuk memperkaya akalnya dan kemampuannya. Sebab pilihan serupa kerap dengan sadar oleh mereka yang konon lebih kaya secara wawasan dan pengetahuan.
Ya, ini lebih ke soal media, yang dalam definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia--salah satunya--didefinisikan sebagai alat komunikasi, utamanya koran dan sejenisnya. Juga diterjemahkan sebagai perantara, yang memang menjembatani pihak yang tahu dengan yang tidak tahu, yang paham dengan yang tidak paham.
Di sana terdapat Pers paling menentukan, sebagai elemen yang menjadi rahim media-media tersebut. Dalam buku Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani (Alex Sobur, 2001), yang dikutip dari salah satu pakar, bahwa media massa merupakan bagian komunikasi antar manusia. Media menjadi saluran memperluas jangkauan pesan antar manusia. Ringkasnya, begitulah secara definisi. Tentu saja ada manusia di dalam proses itu dan juga manusia yang menjadi sasaran itu.
Sementara, manusia yang menjadi subjek dan objek di tengah perjalanan media massa itu saling pengaruh-mempengaruhi. Acapkali, media massa berperan sentral dalam mempengaruhi atau bahkan merecoki. Tentu saja, tujuan Pers sama sekali bukan untuk merecoki yang dalam KBBI diterjemahkan sebagai "membuat gaduh" itu.
Hanya, disayangkan, acapkali pula Pers membuat kegaduhan. Masyarakat yang semestinya harus mengerutkan keningnya  memikirkan kebutuhan menjelang lebaran--misalnya, juga harus mengerutkan kening lagi karena ulah beberapa media. Alih-alih membuat cerdas masyarakat, tapi justru membuat masyarakat linglung. Ketika sudah linglung, tentu pikiran jernih takkan leluasa bertahan. Yang terjadi selanjutnya adalah salah paham, percekcokan, silang pendapat, hingga pertikaian yang bahkan berisiko nyawa.
Saya sendiri, beberapa kali menulis status di Facebook yang memang condong ke salah satu calon presiden. Tak terbetik niat untuk menggiring, kecuali hanya mengajak berdiskusi, bahwa saya memilih si pulan ini karena ini, dan saya tidak memilih si pulan karena itu. Sambil menunjukkan beberapa data yang saya percaya berasal dari sumber yang layak dipercaya.
Dari sana, saya menemukan beberapa kali respons, berupa pengakuan bahwa calon presiden yang saya tunjukkan itu adalah sosok yang akan memurtadkan mereka. Calon presiden itu akan membuat aliran-aliran yang dibenci mendapatkan tempat. Hingga muncul pandangan-pandangan yang cenderung rasis. Saat saya tanyakan dari mana sumbernya, terpampanglah berbagai link yang menjadi sumber berita rujukan mereka.
Benarlah kata beberapa ahli, bahwa manusia cenderung hanya mendengar yang mereka inginkan saja, bukan yang benar. Maka saya diperlihatkan link demi link dari internet, yang saya pastikan memiliki "misi tersembunyi" yang sama. Ajakan untuk melihat sumber-sumber lain, ditolak mentah-mentah, dengan alasan media rujukannya adalah paling benar.
Itu hanya pemandangan kecil. Betapa, media yang konon dihuni oleh orang-orang berpengetahuan, tapi bahkan tak terbeban membentuk karakter pembaca "militan" seperti itu. Syukur-syukur jika keyakinan yang militan itu tepat atas berita-berita yang memang tak mengada-ada dan layak dipercaya. Tapi ketika yang diyakini penuh itu tak lebih dari rumor yang menjurus fitnah, maka terang saja itu menjadi dosa media tersebut. Sayangnya, soal dosa-pahala seperti sudah menjadi domain agama saja, sesuatu yang seolah hanya berada di atas langit. Akhirnya, soal dosa dipersetankan.
Mempersetankan dosa itu, tak pelak membuat banyak pembaca tanpa merasa berdosa menyebar fitnah karena menurutnya itulah fakta. Media-media itupun dengan tanpa merasa berdosa, mengumbar berita-berita lain yang kian memanaskan suasana. Sambil, pada saat yang sama memuaskan birahi sang calon presiden yang menjadi dukungannya, karena menilai sang Capres adalah penyelamat agama dan penyelamat negara. Pembaca media itu terbuai, terbawa mimpi indah, dengan mata terpejam sehingga menolak melihat kenyataan.
Terjadilah pesta onani. Media yang hanya memberi ruang untuk pihak yang mereka dukung, membuat yang didukung terpuaskan, dan para pendukung dengan baju yang sama dengan mereka merasa klimaks. Asalkan puas, benar-tak benar menjadi perkara belakangan. Sesat-tak sesat biar menjadi urusan kemudian.
Di situlah terjadi hal absurd sekaligus naif. Pelacuran terjadi, dan di saat yang sama penikmat pelacuran itu cukup dipuaskan hanya dengan onani. Ini memang bukan analogi yang cukup elok, tapi begitulah gambaran pertalian beberapa media dengan penggemar mereka.
Tak ada dosa yang harus ditakutkan, selama dosa itu dilakukan bersama-sama. Seakan-akan begitulah prinsip yang menjadi pegangan. Toh, cerita neraka itu tak lebih dari dongeng yang ada dalam agama. Maka, dosa-dosa itu dilakukan dengan gembira.
Belum ada palu Tuhan yang diketuk di hari kiamat---seperti keyakinan beberapa agama--untuk memastikan bahwa yang mereka  lakukan itu benar atau salah. Melainkan, hanya palu dari Komisi Pemilihan Umum yang akan diketuk, sudah membuat penikmat onani itu tadi gelisah.
Maka itu, dosa media, mampu mendangkalkan yang seharusnya dalam, menyempitkan sesuatu yang harusnya lebih luas. Lahirlah ajakan-ajakan yang dangkal dan sempit: menduduki KPU, mengerahkan massa, dan berbagai hal lainnya yang bersifat mengancam. Tidak saja mengancam institusi yang mereka sebut telah membuat mereka sangsi. Tapi sekaligus mengancam demokrasi, dan bahkan kematian nurani.
Sialnya, masih ada saja media-media yang bersedia menjadi alat menyihir, untuk menunjukkan yang keliru sebagai hal benar. Mempermanis sekian banyak alasan, memolesnya menjadi indah.
Itu sejatinya adalah pelacuran. Sesuatu yang layak dinista. Apalagi yang dilacurkan bukanlah kelamin seperti dilakukan para pelacur umumnya, melainkan melacurkan kepala dengan otak di dalamnya dan akal yang menjadi fungsinya, sebagai sesuatu yang merupakan pemberian Tuhan termahal.
Disayangkan, memang, sedikit sekali catatan menggembirakan sepanjang pra-pasca Pilpres 2014. Jika dikaitkan dengan bagaimana media menempatkan diri.
Walaupun, dalam sejarah Pers, tak sedikit jejak yang bisa menjadi inspirasi. Sebut saja, Eugene Meyer, pada saat memutuskan membeli The Washington Post pada tahun 1933, mengeluarkan kalimat yang masih acap diingat mereka yang menghargai dunia pers. Meski Meyer memiliki kepentingan terhadap keuntungan dari media yang dibelinya, tapi sedikitnya ia memiliki sikap tegas. "Demi untuk tetap menyajikan kebenaran, jika perlu, koran ini akan mengorbankan keuntungan finansialnya apabila memang itu dibutuhkan demi kepentingan masyarakat."
Mudah-mudahan saja, Dewan Pers, yang selama ini menjadi "Malaikat Pencatat Amal", bisa menunjukkan satu peringatan keras terkait fenomena pelacuran media tersebut. Dewan Pers, mudah-mudahan sekaligus bisa menjadi peniup sangkakala, bahwa jika pers hanya menjadi alat penghancur, akan ada "tangan Tuhan" yang membuat mereka sendiri benar-benar hancur tanpa perlu "pengerahan massa".
Peringatan keras itu penting, agar, ke depan tak terjadi pelacuran yang akan menularkan berbagai penyakit otak: kebodohan dan sekaligus ketidakwarasan. Apalagi, demokrasi takkan pernah bisa dipahami baik tanpa otak yang terbiasa dengan informasi yang baik. (FOLLOW: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H