[caption id="attachment_349244" align="aligncenter" width="546" caption="Gbr: Kompas.com"][/caption]
Saat melihat Prabowo Subianto menyatakan penolakannya atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tiba-tiba saja di benak saya berkelebat tanda tanya, "Ada apa lagi ini?" Hingga saya buka berbagai situs berita, selain juga jejaring sosial. Banyak yang terkaget-kaget. Tidak saja terlihat dari pendukung Joko Widodo, tapi juga dilontarkan beberapa kenalan yang merupakan pendukung Prabowo.
Ya, intinya, keheranan demikian membuncah dari banyak orang, dari rakyat, yang memilih mantan Danjen Kopassus dan yang tidak.
Keheranan itu, sedikitnya, masih lebih baik jika dibandingkan dengan kebingungan. Walaupun kebingungan dan keheranan itu sendiri seperti sepasang kekasih, yang sebenarnya tak mudah dipisahkan. Tapi itulah yang menyeruak.
Salah seorang kenalan saya di Facebook, terang-terangan menyatakan penyesalannya telah memilih seorang calon presiden yang awalnya ia percaya adalah sosok yang tegas dan berjiwa besar. Namun saat mendapati fakta yang disiarkan oleh sebagian besar stasiun televisi Indonesia itu, membuatnya nyaris tak percaya.
Itu juga yang menyeruak di pikiran saya. Hingga saya ngedumel sendiri, "Jika orang ini kalah begini sudah membuat rakyat resah, apakah ia tidak akan kian meresahkan rakyat jika menang?"
Ya, itu hanya isi tanda tanya yang menggantung di benak saya. Karena, jelas sulit membuktikan ia akan meresahkan rakyat atau tidak jika ia menang. Faktanya, cara dirinya menerima kekalahan itu memang meresahkan.
Yang ia resahkan tidak saja pihak pendukung lawan politiknya. Tapi juga yang telah dibuat resah adalah masyarakat yang telah memberikan kepercayaannya kepada dirinya. Betapa mereka terombang-ambing, antara benar-tidaknya kekalahan sosok yang mereka dukung atau tidak. Mereka terombang-ambing, siapa yang bisa dipercaya di tengah situasi ini.
Apalagi, awalnya Prabowo berkali-kali menegaskan, menunggu hasil real count dari KPU, namun setelahnya saat menjelang real count diumumkan pun ia kembali berulah. Dengan pidato penuh karisma, ia menyatakan penolakan.
Hingga berkelebat lagi di pikiran saya, "Jika KPU pun tak dipercaya oleh capres ini, apakah ia akan percaya jika mereka yang di komisi yang bertanggung jawab menangani Pemilihan Umum ini berasal dari PKS?" Ya, celetukan di benak saya ini muncul, karena partai tersebut selama ini sesumbar bahwa penghitungan mereka lebih sahih dari KPU. Prabowo pun terseret untuk lebih percaya kepada pihak PKS, alih-alih memercayakan pada hasil yang dikeluarkan oleh lembaga yang memang diberi tanggung jawab oleh negara.
Ini yang saya simak sebagai pembodohan. Sikap yang telah ditunjukkan Prabowo--bukan Hatta Rajasa, pasangannya--terlihat oleh saya sebagai pembodohan.
Bagaimana tidak, ia pada saat yang sama telah melecehkan integritas dan kapasitas lembaga sekelas KPU. Sekaligus juga melecehkan konstitusi, walaupun ia acap berteriak-teriak bahwa sikapnya pun bersandar pada konstitusi.
Maka, saya menyimpulkan, terlalu banyak anomali dipertontonkan oleh pesaing Joko Widodo-Jusuf Kalla di Pilpres 2014 ini. Sekali lagi, ini tidak mendidik.
Di tengah reformasi yang telah bergulir nyaris 20 tahun, seharusnya ada iktikad baik dari dirinya sebagai sosok yang dipilih oleh 62,5 juta penduduk Indonesia. Sebab tindakannya menjelang pengumuman hasil rekapitulasi suara versi KPU, membingungkan. Syukur-syukur jika dalam 62,5 juta pemilih adalah mereka yang seluruhnya memahami seperti apa politik. Tapi bagaimana dengan sebagian lainnya yang tak mengerti apa-apa tentang politik?
Bukankah hal itu akan membuat lembaga negara seperti KPU pun akan terlihat rendah di mata rakyatnya sendiri? Bukankah itu justru merendahkan konstitusi, yang sesumbar ia sebut sangat dihargainya--seperti juga kerap diumbar pendukungnya?
Ini adalah bentuk pelecehan terhadap konstitusi yang tidak sederhana, saya kira. Sebab itu dilakukan secara sadar, dan lewat serangkaian pertimbangan. Meski, saya pribadi, sebagai salah satu rakyat, masih tak habis mengerti, bagaimana cara capres tersebut melakukan pertimbangannya.
Terdapat kesan, bahwa sang capres hanya sedang mencoba membangun benteng. Selayaknya seorang jenderal yang sudah terkena sekian peluru dalam medan perang, tapi menjelang kematiannya berusaha meyakinkan bahwa peluru itu takkan membunuhnya. Ia sedang berusaha untuk membuat keyakinan kepada pengikutnya, bahwa mereka belum kalah dari perang itu.
Jika sudah begitu, berbagai kemungkinan buruk bisa terjadi. Para prajurit yang lebih mengedepankan otot dibanding otak, akan percaya begitu saja, dan menghunus pedang untuk melanjutkan perang di saat genderang perang telah berhenti di tabuh. Kemenangan sudah di tangan lawan. Keputusan itu bukankah hanya akan mengorbankan para prajurit yang begitu tulus membela sang jenderal?
Tiba-tiba saja, setelah melihat sikap Prabowo di Pilpres 2014, membuat saya sedikit 'mencibir' pendidikan politik yang seharusnya menjadi media untuk mencerdaskan rakyat. Padahal dalam teori, pendidikan politik memiliki tujuan yang begitu elegan, agar rakyat tercerahkan dan tercerdaskan. Bukan diajak gamang dan was-was di depan politik.
Alangkah bijaknya, ia memenuhi terlebih dulu prosedur dan mekanisme yang telah dituntun oleh konstitusi yang ada. Sayang sekali, sang calon presiden lebih memilih meremehkan konstitusi tersebut. Semoga saja, tidak ada dari rakyat yang kelak mencibirnya, "Tak terpilih sebagai penguasa saja sudah meremehkan konstitusi, bagaimana menjamin ia takkan mengangkangi konstitusi saat ia terpilih?" (FOLLOW: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H