Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca Efek Keputusan Prabowo

23 Juli 2014   13:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:30 1991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana tidak, ia pada saat yang sama telah melecehkan integritas dan kapasitas lembaga sekelas KPU. Sekaligus juga melecehkan konstitusi, walaupun ia acap berteriak-teriak bahwa sikapnya pun bersandar pada konstitusi.

Maka, saya menyimpulkan, terlalu banyak anomali dipertontonkan oleh pesaing Joko Widodo-Jusuf Kalla di Pilpres 2014 ini. Sekali lagi, ini tidak mendidik.

Di tengah reformasi yang telah bergulir nyaris 20 tahun, seharusnya ada iktikad baik dari dirinya sebagai sosok yang dipilih oleh 62,5 juta penduduk Indonesia. Sebab tindakannya menjelang pengumuman hasil rekapitulasi suara versi KPU, membingungkan. Syukur-syukur jika dalam 62,5 juta pemilih adalah mereka yang seluruhnya memahami seperti apa politik. Tapi bagaimana dengan sebagian lainnya yang tak mengerti apa-apa tentang politik?

Bukankah hal itu akan membuat lembaga negara seperti KPU pun akan terlihat rendah di mata rakyatnya sendiri? Bukankah itu justru merendahkan konstitusi, yang sesumbar ia sebut sangat dihargainya--seperti juga kerap diumbar pendukungnya?

Ini adalah bentuk pelecehan terhadap konstitusi yang tidak sederhana, saya kira. Sebab itu dilakukan secara sadar, dan lewat serangkaian pertimbangan. Meski, saya pribadi, sebagai salah satu rakyat, masih tak habis mengerti, bagaimana cara capres tersebut melakukan pertimbangannya.

Terdapat kesan, bahwa sang capres hanya sedang mencoba membangun benteng. Selayaknya seorang jenderal yang sudah terkena sekian peluru dalam medan perang, tapi menjelang kematiannya berusaha meyakinkan bahwa peluru itu takkan membunuhnya. Ia sedang berusaha untuk membuat keyakinan kepada pengikutnya, bahwa mereka belum kalah dari perang itu.

Jika sudah begitu, berbagai kemungkinan buruk bisa terjadi. Para prajurit yang lebih mengedepankan otot dibanding otak, akan percaya begitu saja, dan menghunus pedang untuk melanjutkan perang di saat genderang perang telah berhenti di tabuh. Kemenangan sudah di tangan lawan. Keputusan itu bukankah hanya akan mengorbankan para prajurit yang begitu tulus membela sang jenderal?

Tiba-tiba saja, setelah melihat sikap Prabowo di Pilpres 2014, membuat saya sedikit 'mencibir' pendidikan politik yang seharusnya menjadi media untuk mencerdaskan rakyat. Padahal dalam teori, pendidikan politik memiliki tujuan yang begitu elegan, agar rakyat tercerahkan dan tercerdaskan. Bukan diajak gamang dan was-was di depan politik.

Alangkah bijaknya, ia memenuhi terlebih dulu prosedur dan mekanisme yang telah dituntun oleh konstitusi yang ada. Sayang sekali, sang calon presiden lebih memilih meremehkan konstitusi tersebut. Semoga saja, tidak ada dari rakyat yang kelak mencibirnya, "Tak terpilih sebagai penguasa saja sudah meremehkan konstitusi, bagaimana menjamin ia takkan mengangkangi konstitusi saat ia terpilih?" (FOLLOW: @ZOELFICK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun