Sebaiknya sebesar apapun pendukung, tidak diajak melewati batas-batas yang ada (Gbr: KOMPAS.com)
Saat tenaga kian besar, maka kian besar pula beban yang bisa dipikul. Akan kian banyak hal yang bisa dilakukan. Sama halnya, kian besar tenaga, juga bisa kian besar pula masalah bisa didatangkan. Lalu, bagaimana korelasi analogi tersebut jika mengaitkan itu dengan pendukung Prabowo?
Bagi pendukungnya, Prabowo adalah sosok yang sangat dielu-elukan, bahkan cenderung sangat dipuja. Apa saja yang dikatakan oleh salah satu calon presiden di Pemilihan Presiden 2014 itu, akan diamini oleh mereka. Kekuatan pengaruh mantan Danjen Kopassus ini, bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Maka itu, di sini tersimpan kekuatan dan potensi yang sangat besar.
Kekuatan dan potensi yang dimiliki para pendukung Prabowo itu, bisa menjadi negatif sekaligus bisa menjadi positif. Sebagai pengikut, mereka hanya menunggu titah sosok yang diikuti, ke mana mereka harus berjalan, dan ke mana mereka menuju, dan apa yang bisa dibawa.
Ya, mereka bisa ke mana saja. Bisa mendaki puncak gunung tertinggi, agar bisa melihat keindahan dari ketinggian, atau bisa ke lembah terdalam, untuk terjun dan mati. Atau, meruntuhkan gunung yang ada? Juga tidak tertutup peluang. Dengan kekuatan besar, memang banyak hal bisa dilakukan.
Hanya saja, menyimak apa saja yang ditampilkan sebagian pendukung menantu Soeharto ini, tidak mudah untuk meyakini bahwa kekuatan itu sedang dibawa ke arah positif.
Apakah dugaan saya mengada-ada? Siapa saja berhak untuk menilai. Tapi, jika melihat bagaimana pergerakan dan aksi yang mereka lakukan, itu sudah memperlihatkan indikator, bahwa mereka telah digiring ke arah yang keliru. Mereka di bawa ke arah yang merugikan mereka sendiri. Mencoreng nama sendiri, dan bahkan sudah cenderung meresahkan.
Perintah menangkap ketua Komisi Pemilihan Umum, dan bahkan ancaman bunuh secara terang-terangan, ditunjukkan seakan tanpa beban. Jika begini, apa lagi hal positif yang bisa diharapkan bisa didatangkan oleh mereka? Bagaimana membedakan aksi tersebut dengan separatisme? Bukan hal yang mudah untuk disimpulkan.
Aksi-aksi itu, menjadi pelecehan lainnya yang telah mereka lakukan, setelah pelecehan sebelumnya semisal mengumbar tuduhan terhadap KPU, Bawaslu, hingga memberi stempel fasis dan komunis terhadap negara yang berdiri sejak 1945 ini. Padahal, persatuan yang dibangun di negara yang terdiri dari sekian banyak pulau ini, bukan hal mudah.
Untuk persatuan, pemerintah menempuh sangat banyak cara dan menghabiskan sangat banyak anggaran. Upaya meredam konflik dan ancaman atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, di Papua, Aceh, adalah bagian dari usaha untuk persatuan tersebut.
Siapa yang takkan miris, jika karena alasan tidak siap mental menerima kekalahan, lantas masyarakat dikerahkan untuk menebar ancaman, secara tersembunyi dan terang-terangan, dan melakukan hal-hal yang meresahkan.