Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anomali Sengketa Pilpres

14 Agustus 2014   15:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:35 1466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14079778431422323619

Kelucuan di Mahkamah Konstitusi belum berhenti. Tak sedikit rakyat tergelak dan tertawa setengah mati. Setelah melihat, adanya pihak yang lebih dulu menyerang tapi kemudian mulai terlihat kehilangan nyali. Di tengah jutaan mata rakyat, tentu saja tak ada lagi tempat untuk mereka bersembunyi.

Kira-kira begitulah yang dengan mudah dilihat oleh siapa saja, tentang apa-apa yang sudah dan sedang terjadi di MK. Terutama ketika masing-masing pihak, pemohon (kubu Prabowo-Hatta), termohon (KPU), dan pihak terkait (kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla).

Hampir setiap mata rakyat, pasca-Pilpres 2014, sedikit banyaknya memang menyaksikan semua yang terjadi di ruang sidang itu. Bagaimana masing-masing kuasa hukum berbicara, seperti apa majelis hakim menyelidiki, hingga seberapa besar bukti bisa dibawa oleh para saksi. Sebagian mungkin melihatnya sepenggal-sepenggal dari berita pendek di televisi. Tapi tak sedikit yang mengamatinya lewat YouTube, atau bahkan lewat kedua-duanya.

Serangan dimulai oleh kubu Prabowo-Hatta. Dengan sejumlah saksi dan pengacara, berikut bukti yang menurut mereka paling kuat, untuk mengajukan gugatan, bahwa telah terjadi kecurangan pada pelaksanaan Pilpres 2014. Termasuk, tak boleh luput, sekian banyak uang harus dikucurkan pastinya untuk bisa menggerakkan banyak pendukung.

Hampir mirip tawuran, memang. Tawuran mulut dan pikiran. Pada saat di dalam sidang sedang diminta agar terbukanya mulut para saksi, untuk berbicara dengan bukti, di luar sidang terdapat banyak pendukung membuka mulut untuk orasi. Pihak penyerang memperlihatkan, mereka tidak cukup percaya diri jika hanya membiarkan kuasa hukum dan saksi saja di ruang sidang. Maka butuh mendatangkan "tim hore".

Dari sanalah kelucuan demi kelucuan terjadi. Sebagian berbentuk drama, sebagian lainnya seperti berdeklamasi. Maka, di satu sisi, ruang sidang pun sesekali juga berubah layaknya pementasan seni. Tepatnya, seni humor. Kualitas humor yang diperlihatkan memang tak buruk-buruk amat. Terlepas benar tidaknya apa-apa yang mereka pertontonkan, setidaknya mereka telah berjasa memberi hiburan berbentuk humor genre terbaru. Mereka menyerang, tapi mampu mengundang tawa.

Dalam sepak bola, sangat sulit mencari penyerang yang bisa mengincar gawang lawan sambil tertawa-tawa. Bahkan, dalam kontes lawak pun, juri yang menilai seberapa berkualitas sebuah lawakan, akan mengamati pertunjukan kontestan dengan serius.

Berbeda dengan di MK. Sebegitu serius dan sangarnya para hakim, justru mampu dibuat turut tergelak dengan kesaksian-kesaksian yang diberikan pihak penyerang. Sayangnya, tak terlihat kesan bahwa para penyerang tersebut bisa merasakan, bahwa mereka sedang ditertawakan.

Tawa itu, tak hanya pecah di ruang sidang, melainkan juga di luar sidang. Dari Papua hingga Nol Kilometer di Sabang--walaupun di sini sebenarnya hanya dihuni makhluk primata.

Di sela-sela tawa itu pula, lagi-lagi saya tercenung, apakah karena tawa itu pihak penyerang tak lagi bisa mendengar apa yang ada dari yang menjadi kata hati?

Saya percaya, di hati juga terdapat firasat, entah kuat atau tidak. Tapi dengan itu sudah bisa meraba, ke mana sesuatu menuju, ke tempat apa sesuatu akan bertempat. Apakah ini memang tak terdengar lagi oleh mereka yang menyerang?

Tapi begitulah, genderang sudah ditabuh, perahu sudah berlayar. Sejauh mana gema tabuhan itu akan terdengar, dan sejauh mana perahu mampu berlayar, lebih baik menunggu hingga titik terakhir, pada saat gema dari genderang itu terhenti dan perahu tak sanggup berlayar lagi. Mungkin inilah kesimpulan yang sedang diambil mereka yang menyerang.

Cuma, ada hal yang kurang saya mengerti adalah, kenapa mengeluh jika memang genderang itu sudah ditabuh?

Tanda tanya ini karena belakangan, keluhan demi keluhan mulai bermunculan dari mereka yang menyerang tadi. Hingga keluar beberapa pernyataan, bahwa mereka sedang dikeroyok. Ibarat sepak bola, pada saat harus melawan 19 tim yang harus dilawan bergiliran, lantas mereka mengajukan permohonan untuk bisa mendatangkan pemain per laga hingga 22 orang. "Karena terlalu banyak lawan", jerit mereka, setelah mulai sedikit membuka mata dari lamunannya, atas fakta siapa saja menjadi lawan mereka.

Ya, mereka bermatematika, bahwa selain menghadapi kubu KPU, yang dituding gagal sebagai penyelenggara, mereka juga menyerang pihak Jokowi-JK sebagai rival mereka di Pilpres. Ternyata lima puluh tambah lima puluh berjumlah seratus. Jika lima puluh saksi menghadapi saksi dari dua kubu yang dijadikan lawan, maka lawan mereka adalah seratus. Mulailah keluhan itu muncul, kenapa tiba-tiba lawan menjadi lebih banyak.

Sementara ada yang dilupakan, lawan-lawan yang telah mereka hadapi itu juga adalah nurani sendiri, yang sudah mengingatkan, hanya yang kau tabur saja yang bisa kau tuai. Tapi jika kau menabur angin, maka kau pula yang akan menuai badai. Hanya, mereka terlalu suka dengan hiruk pikuk itu. Sehingga lupa mendengar bunyi alarm yang berada di jarak terdekat, di dalam diri sendiri. Lalu, tanpa malu mengeluh di tengah pertarungan sedang berjalan. (Twitter; @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun