Tapi begitulah, genderang sudah ditabuh, perahu sudah berlayar. Sejauh mana gema tabuhan itu akan terdengar, dan sejauh mana perahu mampu berlayar, lebih baik menunggu hingga titik terakhir, pada saat gema dari genderang itu terhenti dan perahu tak sanggup berlayar lagi. Mungkin inilah kesimpulan yang sedang diambil mereka yang menyerang.
Cuma, ada hal yang kurang saya mengerti adalah, kenapa mengeluh jika memang genderang itu sudah ditabuh?
Tanda tanya ini karena belakangan, keluhan demi keluhan mulai bermunculan dari mereka yang menyerang tadi. Hingga keluar beberapa pernyataan, bahwa mereka sedang dikeroyok. Ibarat sepak bola, pada saat harus melawan 19 tim yang harus dilawan bergiliran, lantas mereka mengajukan permohonan untuk bisa mendatangkan pemain per laga hingga 22 orang. "Karena terlalu banyak lawan", jerit mereka, setelah mulai sedikit membuka mata dari lamunannya, atas fakta siapa saja menjadi lawan mereka.
Ya, mereka bermatematika, bahwa selain menghadapi kubu KPU, yang dituding gagal sebagai penyelenggara, mereka juga menyerang pihak Jokowi-JK sebagai rival mereka di Pilpres. Ternyata lima puluh tambah lima puluh berjumlah seratus. Jika lima puluh saksi menghadapi saksi dari dua kubu yang dijadikan lawan, maka lawan mereka adalah seratus. Mulailah keluhan itu muncul, kenapa tiba-tiba lawan menjadi lebih banyak.
Sementara ada yang dilupakan, lawan-lawan yang telah mereka hadapi itu juga adalah nurani sendiri, yang sudah mengingatkan, hanya yang kau tabur saja yang bisa kau tuai. Tapi jika kau menabur angin, maka kau pula yang akan menuai badai. Hanya, mereka terlalu suka dengan hiruk pikuk itu. Sehingga lupa mendengar bunyi alarm yang berada di jarak terdekat, di dalam diri sendiri. Lalu, tanpa malu mengeluh di tengah pertarungan sedang berjalan. (Twitter; @zoelfick)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H