Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kenapa Thailand sebagai Referensi Yusril di MK?

17 Agustus 2014   04:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:21 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14081999071130427483

[caption id="attachment_353301" align="aligncenter" width="546" caption="Yusril terlihat lelah, ketika rakyat lebih dilelahkan oleh berahi tak terbendung para politisi penyembah kekuasaan (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]

Yusril Ihza Mahendra diakui sebagai orang yang khatam berbagai hal yang berhubungan dengan tata negara hingga hukum yang terdapat di Indonesia. Dia adalah seorang ilmuwan, atau orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu. Lalu, di tengah sengketa Pilpres 2014, di manakah ia berdiri? Bagaimana konsekuensi dari keberpihakannya?

Ya, itulah tanda tanya yang saya amati begitu mencuat di tengah masyarakat. Terutama saat berdiskusi dengan beberapa sahabat yang memang lebih mengerti seputar dunia hukum dan politik.

Tidak berhenti di sana, ada pula yang menggugat landasan pikiran Yusril dan referensi yang ia paparkan. Thailand, seperti disinggung sendiri oleh Yusril di sidang Pilpres, dijadikan sebagai rujukan perbandingan atas apa yang terjadi di Indonesia. Hingga muncul pertanyaan lainnya, apakah Thailand adalah referensi yang tepat untuk perbandingan tersebut?

Beberapa memang berpandangan, referensi yang dijadikan landasan argumen Yusril tidak salah dan boleh disebut sudah tepat. Karena di sana memang terlihat komitmen pihak penegak konstitusi untuk mengambil risiko besar, yang bahkan dibayar dengan kerusuhan hingga menelan korban rakyat di negara tersebut.

Alasan teman-teman ini, karena risiko seperti itu sudah menjadi konsekuensi wajar, demi tegaknya konstitusi dan hukum tetap bermartabat.

Di sini, saya tercenung. Mencoba bermatematika, menganalisis, hingga mereka-reka tingkat logis tidaknya atau tepat tidaknya argumen mereka yang mengiyakan argumen yang disampaikan Yusril sebagai saksi ahli yang mendukung keputusan politik Prabowo-Hatta.

Maka pikiran saya seketika menyentuh sisi yang berkait dengan logika harga. Mengumpamakan dengan jual beli, di sana memang akan ada harga yang wajar dan pantas, ada harga yang murah, mahal, hingga terlalu mahal. Maka saya melihat harga yang dibayar Thailand untuk alasan tersebut, terasa terlalu mahal.

Sederhana saja, efek keputusan itu, berapa besar kerugian yang dialami mereka. Sementara keputusan yang diambil juga masih mengundang tanda tanya.

Masyarakat internasional tidak lupa, bagaimana kondisi Thailand di pertengahan 2014 itu. Tentara menjadi sangat dominan, terlepas mereka berdalih bahwa mereka sedang tidak melakukan kudeta. Perdana Menteri Yingluck Shinawatra mendapatkan pemecatan setelah pihak pengadilan setempat mengeluarkan keputusannya.

Bagaimana masyarakat internasional menilai pemecatan Yingluck? Tak banyak pakar hukum yang membenarkan begitu saja argumen pemecatan itu. Apalagi konsekuensi yang harus dibayar adalah ancaman perang saudara menjadi isu paling mencolok saat itu. Sebab, situasi terkini pun masih memiliki keterkaitan dengan kudeta yang pernah terjadi 10 tahun lalu, atau pada 2006 yang membuat trah Thaksin Shinawatra memudar dan seketika bisa dikatakan lenyap sama sekali.

Apalagi kemudian kehadiran pemimpin yang menduduki kekuasaan tanpa melalui proses pemilu, menjadi ancaman lainnya yang mengundang perlawanan. Singkatnya, birahi kekuasaan segelintir elite membawa keresahan secara nasional. Dari Desember tahun lalu, negara tersebut bahkan tidak memiliki pemerintah yang bisa berfungsi secara efektif.

Lebih jauh, harga yang harus dibayar oleh keputusan hukum yang menafikan konsekuensi dan harapan rakyat, negara tersebut mengalami kerugian tidak kecil. Padahal ini kesohor sebagai negara Asia yang memiliki peringkat tiga besar, khususnya di Asia Tenggara.

Jumlah wisatawan yang biasanya melonjak tajam ke negara ini, seketika menurun drastis. Roda ekonomi terhambat. Investor pun tak berani mengarahkan pandangan ke negeri tersebut. Gonjang-ganjing politik membawa keresahan tidak saja di dalam negeri, tapi juga berpengaruh ke luar negeri.

Apalagi media-media pun dikuasai oleh militer, tak terkecuali televisi. Meski tidak mengakui adanya kudeta, tapi dunia sepakat melihat kudeta telah terjadi di sana, satu hal yang terjadi berulang kali di negara yang menjadi referensi Yusril tersebut.

Tapi kan, referensi Yusril dari sisi keberanian penerapan keputusan hukum saja yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi Thailand?

Memang, tapi apakah, jika katakanlah Mahkamah Konstitusi negeri kita juga melakukan langkah-langkah dan keputusan "berani" versi Yusril, tidakkah akan berdampak serupa atau paling tidak, mirip dengan yang terjadi di Thailand?

Prabowo, yang dibela Yusril telah menjadikan Korea Utara sebagai referensi untuk membandingkan kualitas demokrasi di negaranya. Ini masih sedikit bisa dimaklumi, terlepas tepat tidaknya bahan perbandingannya itu. Karena dorongan emosi dan sulitnya menerima kekalahan, membuat capres tersebut terbawa lamunan layaknya remaja putus cinta dan merasa dunia berakhir karenanya. Tapi, ketika seorang Yusril menjadikan Thailand sebagai referensi, saya jadi kian dibalut tanda tanya yang saya yakini juga dirasakan banyak rakyat di republik ini. Atau, saya yang mengada-ada? (TWITTER: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun