Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

B.M Diah, Saksi Proklamasi dari Aceh

16 Agustus 2014   12:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 2314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408141706775691012

[caption id="attachment_353188" align="aligncenter" width="540" caption="B.M Diah dan Sayuti Melik (Gbr: Dewi)"][/caption]

Nama B.M Diah bukanlah nama asing bagi insan pers. Walaupun dia bukan hanya tokoh pers, melainkan juga seorang pejuang kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai diplomat hingga menjadi menteri. Ia seorang tokoh yang merupakan seorang Aceh asli, yang merintis kariernya benar-benar dari bawah. Ironisnya, ia nyaris tidak dikenal oleh masyarakatnya sendiri di Aceh, kecuali hanya oleh segelintir saja.

Burhanuddin Mohammad Diah, memang lahir di Aceh, tepatnya di Kutaraja yang kini bernama Banda Aceh, pada 7 April 1917. Tidak banyak catatan tentang dirinya, kecuali di arsip-arsip koran. Kompas, merupakan salah satu media yang sempat beberapa kali mengangkat profil dirinya. Di Wikipedia juga hanya menceritakan pejuang tersebut secara garis besarnya saja.

Rosihan Anwar, tokoh pers lainnya, adalah salah seorang di antara yang pernah menuangkan tulisan tentang sosok yang kerap disapa dengan BMD itu. Kendati, semasa keduanya masih aktif di dunia pers, tak melulu mengalami hubungan yang mulus. Meski berkawan dekat, tapi tak jarang satu sama lain menjadi lawan. Pilihan politik dan perjalanan hidup, membuat mereka harus bersikap berlawanan dalam banyak hal. Tak jarang, perkara antara keduanya bahkan berujung hingga pengadilan. Seperti juga hubungannya dengan Mochtar Lubis, juga salah satu dedengkot pers Indonesia.

Meski begitu, Rosihan, adalah salah seorang yang mengetahui banyak tentang sosok BMD. Dari sejak bagaimana BMD di masa kecilnya hingga bagaimana pernikahan BMD dengan Herawati, perempuan yang disebut Rosihan sebagai satu dari sedikit perempuan Indonesia lulusan Amerika Serikat di masa kolonial Belanda.

Rosihan juga menggambarkan BMD sebagai sosok yang lahir dari keluarga kebanyakan, "Bukan keturunan sultan-sultan. waktu berumur satu pekan, ayahnya meninggal dunia. Di masa kecil, namanya adalalh Yatim!".

Iya, nama lahir BMD adalah Yatim.Sejak kecil ia sudah berkenalan dengan penjajahan. Maklum, seperti ia ceritakan, bahwa rumahnya saja bersisian dengan salah satu tangsi Belanda yang terdapat di Kutaraja. Tak jauh dari sana, juga terdapat stasiun kereta api.

Diah kecil kerap mendatangi stasiun kereta api yang hanya sepelemparan batu dari rumahnya itu. Apa yang ia lihat, acapkali adalah tentara-tentara Belanda  yang telah menjadi mayat. Mereka mati saat bertempur di pedalaman-pedalaman Aceh. Sejak itulah ia memahami, Belanda adalah musuh. Terlebih, sehari-hari ia kerap mendengar umpatan-umpatan orang-orang tua tetangganya yang ditujukan kepada Belanda.

Selebihnya, pengetahuan dirinya terhadap penjajahan juga didapatkan saat beberapa kali ia dititipkan kepada salah satu rumah uleebalang--Aceh ningrat. Di sana ia kerap menguping pembicaraan orang-orang dewasa tentang perlawanan pejuang Aceh yang lebih banyak terkonsentrasi di pedalaman.

Hingga kemudian ia disekolahkan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang berada di kawasan Peunayong--satu kawasan Pecinan di Banda Aceh. Saat didaftarkan di sini, ibunya memberikan nama panjang Muhammad Atim. Saat itulah menjadi kenangan tersendiri bagi dirinya, sebab tak lama kemudian, ketika BMD kecil masih berusia 8 tahun, Siti Saidah, ibunya pun meninggal dunia. Secara beruntun, kakak-kakaknya yang sebelumnya secara bergiliran menjadi tempatnya menumpang hidup, satu persatu meninggal dunia.

Dalam usia 14 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Medan. Di kota inilah ia mengenal koran, walaupun lebih sering hanya sobekan-sobekan koran saja. Namun ia sudah memperlihatkan kehausan untuk membaca, sehingga sobekan-sobekan koran itupun menjadi bacaannya. Meski di kota tersebut, ia juga lebih leluasa untuk membaca dibandingkan saat di Aceh. Sebab, di Medan, dia berkesempatan membaca banyak buku.

Saat masih di ibu kota Sumatra Utara ini pula, ia pertama kali mendengar nama Sukarno. Sementara ia masih menempuh pendidikan di Taman Siswa. Di sini juga, satu ketika ia ditanyakan oleh gurunya, "Sebagai apakah Anda ingin dikenang?"

Saat itu, Diah kecil menjawab, "Hanya sebagai wartawan."

Sehingga memasuki usia 17 tahun, Diah menunjukkan ke-Acehannya. Ia merantau sendiri ke Jakarta yang saat itu masih dikenal dengan Batavia. Di sini ia tidak memiliki saudara sama sekali, bahkan tak memiliki sahabat.

Ia berusaha sendiri, mencari tempat untuk dirinya melanjutkan pendidikan. Sempat di Taman Siswa Lanjutan, lalu pindah ke Algemene Middelbare School (AMS). Tak betah di sini, lantas ia pindah ke sekolah Muhammadiyah. Dia masih tetap tidak betah, hingga memutuskan hengkang ke Bandung dan melanjutkan di Moderne Middelbare Handelsschool. Kemudian berujung ke Middelbare Journalisten School. Baru di sekolah terakhir ini ia merasa menemukan apa yang ia cari.

Sehingga ia berkenalan dengan E.F.E Douwes Dekker. Sosok itu adalah figur yang membuat BMD merasa bangga. Seorang guru berjiwa pemberontak. Saat mengajar Sejarah, Dekker bahkan tidak menyebut nama Hindia Belanda, sebagai nama resmi saat itu. Melainkan menyebut Indonesia, tanpa merasa takut.

Dekker juga sempat memberikan nasihat berharga bagi Diah, yang diingat olehnya hingga usia senja. "Jika kau ingin melawan dunia Barat, kau harus menguasai pengetahuan mereka!"

Dari sanalah, BMD kemudian menekuni berbagai pengetahuan di sekolahnya, sambil juga mengasah kemampuan jurnalistiknya. Dari profesi itu juga ia berkenalan dengan banyak pemuda pejuang lainnya, tak terkecuali Sukarno yang merupakan idolanya sejak masih di Medan.

Di barisan Sukarno, dengan kemampuan Diah dalam jurnalistik, ia mengampanyekan berbagai propaganda yang memuluskan pekerjaan perjuangan. Di antara yang paling terkenang olehnya, saat ia turut berada di antara sekelompok pemuda, mempersiapkan proklamasi 17 Agustus 1945.

Kenapa yang menandatangani teks proklamasi hanya Soekarno-Hatta saja? Ya, Diah adalah sosok di balik ide, membiarkan kedua tokoh itu menandatangani teks proklamasi. Setelah sempat muncul perdebatan, bahwa teks tersebut akan ditandatangani semua yang hadir pada rapat persiapan pembacaan sederet kalimat, menentukan nasib sebuah negara bernama Indonesia!

Setelah sempat menjadi duta besar ketika Indonesia masih tertatih-tatih, Diah juga pernah dipercayakan sebagai Menteri Penerangan di era 1960-an. Setelah malang melintang di dunia pers dan perjuangan kemerdekaan, ia meninggal dunia pada usia 79 tahun. Bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1996, hanya dua tahun menjelang keruntuhan Orde Baru. (Diolah dari Berbagai Sumber/Twitter: @zoelfick).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun