Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

B.M Diah, Saksi Proklamasi dari Aceh

16 Agustus 2014   12:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:24 2314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408141706775691012

Saat masih di ibu kota Sumatra Utara ini pula, ia pertama kali mendengar nama Sukarno. Sementara ia masih menempuh pendidikan di Taman Siswa. Di sini juga, satu ketika ia ditanyakan oleh gurunya, "Sebagai apakah Anda ingin dikenang?"

Saat itu, Diah kecil menjawab, "Hanya sebagai wartawan."

Sehingga memasuki usia 17 tahun, Diah menunjukkan ke-Acehannya. Ia merantau sendiri ke Jakarta yang saat itu masih dikenal dengan Batavia. Di sini ia tidak memiliki saudara sama sekali, bahkan tak memiliki sahabat.

Ia berusaha sendiri, mencari tempat untuk dirinya melanjutkan pendidikan. Sempat di Taman Siswa Lanjutan, lalu pindah ke Algemene Middelbare School (AMS). Tak betah di sini, lantas ia pindah ke sekolah Muhammadiyah. Dia masih tetap tidak betah, hingga memutuskan hengkang ke Bandung dan melanjutkan di Moderne Middelbare Handelsschool. Kemudian berujung ke Middelbare Journalisten School. Baru di sekolah terakhir ini ia merasa menemukan apa yang ia cari.

Sehingga ia berkenalan dengan E.F.E Douwes Dekker. Sosok itu adalah figur yang membuat BMD merasa bangga. Seorang guru berjiwa pemberontak. Saat mengajar Sejarah, Dekker bahkan tidak menyebut nama Hindia Belanda, sebagai nama resmi saat itu. Melainkan menyebut Indonesia, tanpa merasa takut.

Dekker juga sempat memberikan nasihat berharga bagi Diah, yang diingat olehnya hingga usia senja. "Jika kau ingin melawan dunia Barat, kau harus menguasai pengetahuan mereka!"

Dari sanalah, BMD kemudian menekuni berbagai pengetahuan di sekolahnya, sambil juga mengasah kemampuan jurnalistiknya. Dari profesi itu juga ia berkenalan dengan banyak pemuda pejuang lainnya, tak terkecuali Sukarno yang merupakan idolanya sejak masih di Medan.

Di barisan Sukarno, dengan kemampuan Diah dalam jurnalistik, ia mengampanyekan berbagai propaganda yang memuluskan pekerjaan perjuangan. Di antara yang paling terkenang olehnya, saat ia turut berada di antara sekelompok pemuda, mempersiapkan proklamasi 17 Agustus 1945.

Kenapa yang menandatangani teks proklamasi hanya Soekarno-Hatta saja? Ya, Diah adalah sosok di balik ide, membiarkan kedua tokoh itu menandatangani teks proklamasi. Setelah sempat muncul perdebatan, bahwa teks tersebut akan ditandatangani semua yang hadir pada rapat persiapan pembacaan sederet kalimat, menentukan nasib sebuah negara bernama Indonesia!

Setelah sempat menjadi duta besar ketika Indonesia masih tertatih-tatih, Diah juga pernah dipercayakan sebagai Menteri Penerangan di era 1960-an. Setelah malang melintang di dunia pers dan perjuangan kemerdekaan, ia meninggal dunia pada usia 79 tahun. Bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1996, hanya dua tahun menjelang keruntuhan Orde Baru. (Diolah dari Berbagai Sumber/Twitter: @zoelfick).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun