Sayangnya, ada kecenderungan, Prabowo gandrung mendengar hal-hal yang menyenangkan dirinya. Benar atau tidak, faktual atau tidak, tidak menjadi landasan untuk mempertimbangkan sesuatu layak didengar atau tidak. Untuk ini, kasus quick count dan real count sangat tepat mewakili pemandangan tersebut.
Jika sudah begitu, maka yang terjadi sebenarnya hanyalah langkah-langkah politik bunuh diri. Diikuti dengan berbagai sikap-sikap kontras yang diibaratkan pepatah: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Hal inilah yang seketika membuat saya mennyimak ulang setelah merekam kuat diskusi saya sendiri dengan istri di rumah. Pasalnya, ia sendiri adalah salah satu yang memilih Prabowo pada Pilpres, Juli lalu. Saya tanyakan, bagaimana ia sebagai perempuan dan sebagai pemilih, melihat keputusan politik dan berbagai pernyataan politik Prabowo?
Istri saya secara lugas menjawab, "Jadi malu setelah memilihnya."
Ya, mungkin dalam kacamata politik, malu atau tidak untuk mengambil sebuah keputusan, memang bukanlah sebuah hal yang harus menjadi persoalan. Tapi, pasti akan menjadi persoalan, jika dengan berpolitik justru melakukan hal-hal memalukan.
Yang saya maksudkan adalah, idealnya, sebagai seorang jenderal yang memang telah dididik dari A ke Z tentang negaranya, seharusnya Prabowo tidaklah melakukan langkah-langkah yang terlalu berlebihan.
Publik mungkin masih bisa menerima, ketika ia memutuskan menghadap MK untuk "mengadu nasib" setelah keputusan Komisi Pemilihan Umum, berdasar hasil rekapitulasi tidak berpihak kepadanya. Karena memang lembaga sekelas KPU--terlepas adanya kekurangan yang bukan disengaja--bekerja berdasarkan Undang Undang, berdasarkan peraturan yang telah digariskan negara.
Persoalannya, setelah ke MK pun, hanya satu-dua hari menjelang keputusan mahkamah yang menangani masalah Pemilu itu, ia sudah menyiapkan langkah ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung. Setelah jauh-jauh hari sempat mewacanakan membentuk Pansus Pilpres, yang merupakan wacana "Pansus terpolos" yang pernah ada di republik ini--karena sangat mudah terbaca ke mana arahnya.
Tak heran, jika salah satu saksi ahli yang sempat menunjukkan keberpihakan kepadanya sendiri terkaget-kaget dengan wacana Prabowo ke PTUN dan MA. Apanya yang mau dituntut? Di sinilah, sesuatu yang absurd kian mengental terlihat dari sosok yang purnawirawan letnan jenderal di institusi Tentara Nasional Indonesia ini.
Sehingga, muncul guyonan, mudah-mudahan Prabowo tidak sampai memilih membawa kegundahan atas kekalahannya ke Pengadilan Agama.
Tidak bermaksud untuk meremehkan, tapi, idealnya alangkah bijak jika sosok sekelas Prabowo yang bahkan memiliki wawasan internasional dan pemahaman ke-Indonesiaan yang tak diragukan lagi, bisa menempuh langkah-langkah yang lebih mencerminkan sosok berkelas.