Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sisi Lain dari Kemenangan Jokowi

24 Agustus 2014   10:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_354830" align="aligncenter" width="490" caption="Politik yang mencerdaskan hanya dilakukan politisi yang baik. Informasi yang baik akan memberikan hasil yang baik dalam berpolitik (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]

Setiap fenomena, pada galibnya membawa pesan tersendiri, entah fenomena baik atau bahkan buruk sekalipun. Seperti halnya kemenangan Joko Widodo dan runtuhnya kekuatan rival politiknya, Prabowo Subianto, tak kurang memiliki pesan yang saya kira akan menjadi referensi tersendiri dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia.

Ada fakta yang tak bisa dipungkiri dari politik Indonesia, bahwa rakyat, jauh sebelumnya kerap seperti pembeli ketika pegiat politik cenderung berada di posisi sebagai penjual. Pertama, ada penjual yang berhasil menarik simpati rakyat dengan pola-pola yang mirip hipnotis, sehingga rakyat mengesampingkan logika ketika harus memilih dagangan yang disodorkan padanya.

Di posisi itu, rakyat tak lagi dibiarkan bisa melogikakan, seberapa baik dan seberapa butuhkah dirinya terhadap dagangan itu. Sebab pikiran mereka cenderung dibanjiri dengan berbagai intrik-intrik menyihir, sehingga tak bisa maksimal untuk mempertimbangkan jernih apa-apa yang disodorkan.

Para penjual yang pertama ini, cenderung tak memberi jeda yang memadai untuk calon pembeli untuk melihat secara terbuka dan apa adanya terhadap barang dagangan itu. Semacam ada ketakutan, berbicara jujur kepada pembeli itu hanya akan membuat mereka menjauh.

Maka itu, calon-calon pembeli dijejalkan logika yang sejatinya absurd betapa bagusnya sesuatu yang besar dengan berbagai kelebihan dari "barang berbentuk besar". Sedikit sekali penjelasan, atau bahkan hampir tak ada, bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Melainkan, calon pembeli yang tertarik ke sini hanya tersugesti bahwa truk-truk besar akan lebih mereka butuhkan untuk menyeberangi lautan. Absurd. Tapi hal itulah yang dijejalkan.

Tak ada penjelasan cukup jernih, bahwa kalaupun memang sesuatu yang besar itu memang akan lebih baik jika isi di dalamnya baik dan tidak dipenuhi kuman berbentuk virus atau bakteri. Asalkan besar, entah di sana ada penyakit besar sebagai ancaman, diupayakan untuk tak diketahui calon pembeli.

Syukurnya, faktor "pembeli" di negeri ini tidak lagi hanya calon "korban-korban pasar" bernama politik yang gampang dibius. Dampak positif perkembangan informasi pun mendapatkan tempat. Pada saat para "sales" menjual dagangannya, teknologi informasi menyediakan banyak pilihan yang kompeten untuk mereka menyaring, membandingkan, dan menganalisis: siapa menjual apa, siapa menjual bagaimana, dan siapa bersama siapa.

Pengetahuan itu, ketersediaan informasi memadai, memang menjadi batu sandungan tak sederhana bagi penjual pertama. Bius-bius berupa berbagai propaganda pihak pertama, dari tudingan "asing dan aseng", dari Islam dan non-Islam, dengan berbagai tetek bengek propaganda, menjadi peluru yang dilepas seluruhnya. Tak ada lagi pertimbangan bius dan peluru propaganda itu tepat pada sasaran ataukah tidak. Maka, saat calon pembeli bertemu dengan akses informasi, di sinilah, para penjual tak bisa berbuat banyak.

Satu sisi, inilah keuntungan dari ketersediaan informasi memadai. Upaya-upaya pengibulan massif bisa terhindari. Walaupun masih ada saja yang menjadi korban, termakan jualan, tapi masih lebih banyak yang bersedia melihat dengan jernih, tak menurut begitu saja pada propaganda-propaganda yang diembuskan.

Media-media semisal Kompas, Tempo,  dan Detik, atau MetroTV di tengah pertarungan "merebut pembeli" di pasar politik tadi, kerap menjadi sasaran kebencian pihak pertama. Dalih mereka, media-media ini hanya merugikan mereka saja. Maka di kalangan sendiri, pihak pertama ini kerap membiuskan pengikutnya, bahwa media-media ini telah dibeli oleh lawan mereka.

Ketika para pengikut pihak pertama mengamini "bius" ditebar orang-orang 'cerdas' di kalangan mereka, tak sedikit yang akhirnya menjadi apriori kepada media-media itu, tanpa mencoba melihat ulang bahwa jangan-jangan justru dari media-media ini terdapat berita dengan sumber yang lebih kompeten dan layak dipercaya. Bahwa, terlepas media ini memiliki keberpihakan, tapi masih bisa memijak tanah untuk tidak mengada-ada.

Tapi begitulah, saat sesuatu sudah diamini dan diimani tanpa melihat ulang dengan jernih, maka kebenaran yang sebenarnya hanya berpatron pada "kalangan sendiri" dan tafsir sendiri.

Sementara rival mereka, memang juga melakukan propaganda. Mereka realistis, ini adalah politik di mana propaganda memang dibutuhkan. Sebab, propaganda itu sendiri adalah penerangan yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut atau memilih satu sikap politik--berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Di sini, pihak kedua tidak menjadikan propaganda sebagai alat untuk mengaburkan yang benar dengan yang salah. Mereka berusaha tidak menjadikan propaganda sebagai senjata untuk menipu dan mengibuli. Mereka memahami, jika berdagang dengan menipu, hanya akan menghancurkan mereka ketika calon pembeli mencari informasi yang sebenarnya. Maka mereka memilih, sampaikan berbagai hal secara apa adanya. Jangan hanya menelan pemberitaan kalangan sendiri, tapi juga silakan bandingkan dengan kalangan luar, di sini akan bertemu dengan kebenaran yang lebih kuat dan lebih layak untuk diyakini.

Maka itu, dari sisi militansi, lebih cenderung banyak didapatkan oleh pihak kedua ini. Karena mereka memiliki sikap jelas, bahwa politik yang baik itu bukan dengan menyajikan informasi menyesatkan. Politik yang sehat itu bukanlah menjejali pikiran calon pembeli dengan informasi yang buruk.

Di sinilah maka empati dan simpati lebih tumbuh di kalangan pihak kedua. Kekuatan yang sejatinya berada di luar lingkaran para pelaku politik praktis. Mereka menjadi kekuatan yang tak terbendung, melahirkan kreativitas dan mampu melahirkan berbagai informasi. Ini bisa terjadi karena manuver politik yang dilakukan adalah manuver yang mencerdaskan, yang membuka pikiran, membuka wawasan, dan kesempatan untuk melihat berbagai hal lebih objektif--tidak direcoki informasi-informasi yang menyesatkan.

Karenanya, saya pribadi melihat inilah pelajaran paling penting dari sikap politik pihak kedua. Politik yang mendewasakan dan mencerdaskan. Politik yang menebarkan aura positif. Mengsahihkan bahwa kekuatan itu tidak semata-mata pada seberapa besar suatu kubu politik, tapi kekuatan itu adalah seberapa mampu hal itu mencerdaskan publik. Toh, jika publik dicerdaskan, maka mereka akan memilih dengan cerdas. Jika pemilih sudah cerdas, sementara pelaku politik sudah melakukan berbagai hal berharga, maka para pemilih cerdas pasti akan memilih yang lebih baik.

Sudut pandang dan karakter politik yang bertarung di Pilpres 2014 khususnya, akhirnya harus diakui meninggalkan banyak hal yang akan selalu menarik untuk diperhatikan, dan memikat untuk didalami. Maka kenapa, di media seperti Kompasiana, misalnya, begitu banyak yang bersedia "mengampanyekan" pihak kedua, sementara mereka sama sekali bukanlah tim sukses atau organisasi terkait. Hal ini menggambarkan bahwa politik yang mencerdaskan itu akan cenderung melahirkan kekuatan yang lebih sejati, dibanding dengan politik yang mengandalkan intrik.

Semoga saja, pertarungan politik tahun ini, menjadi pelajaran penting bagi pelaku politik dan masyarakat luas tentunya, agar di tahun-tahun mendatang, tak ada lagi pandangan-pandangan skeptis terhadap politik. Toh, politik itu bukanlah pengetahuan yang hanya mesti dipahami para pelaku politik. Sebab jika pengetahuan politik hanya menjadi domain pelaku politik, akan cenderung membuat rakyat tak lebih dari korban-korban "pedagang" di pasar politik. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam politik, maka bukan mustahil politik Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang akan melahirkan lebih banyak hal yang lebih konstruktif dan membuat negeri ini lebih terbangun.

Terakhir, hanya guru yang memberi pendidikan sebaik-baiknya yang akan lebih dihargai para muridnya, ketika sebagian guru lainnya akan dikutuk sejarah atas penyesatan yang dilakukannya. (Twitter: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun