Ketika para pengikut pihak pertama mengamini "bius" ditebar orang-orang 'cerdas' di kalangan mereka, tak sedikit yang akhirnya menjadi apriori kepada media-media itu, tanpa mencoba melihat ulang bahwa jangan-jangan justru dari media-media ini terdapat berita dengan sumber yang lebih kompeten dan layak dipercaya. Bahwa, terlepas media ini memiliki keberpihakan, tapi masih bisa memijak tanah untuk tidak mengada-ada.
Tapi begitulah, saat sesuatu sudah diamini dan diimani tanpa melihat ulang dengan jernih, maka kebenaran yang sebenarnya hanya berpatron pada "kalangan sendiri" dan tafsir sendiri.
Sementara rival mereka, memang juga melakukan propaganda. Mereka realistis, ini adalah politik di mana propaganda memang dibutuhkan. Sebab, propaganda itu sendiri adalah penerangan yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut atau memilih satu sikap politik--berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Di sini, pihak kedua tidak menjadikan propaganda sebagai alat untuk mengaburkan yang benar dengan yang salah. Mereka berusaha tidak menjadikan propaganda sebagai senjata untuk menipu dan mengibuli. Mereka memahami, jika berdagang dengan menipu, hanya akan menghancurkan mereka ketika calon pembeli mencari informasi yang sebenarnya. Maka mereka memilih, sampaikan berbagai hal secara apa adanya. Jangan hanya menelan pemberitaan kalangan sendiri, tapi juga silakan bandingkan dengan kalangan luar, di sini akan bertemu dengan kebenaran yang lebih kuat dan lebih layak untuk diyakini.
Maka itu, dari sisi militansi, lebih cenderung banyak didapatkan oleh pihak kedua ini. Karena mereka memiliki sikap jelas, bahwa politik yang baik itu bukan dengan menyajikan informasi menyesatkan. Politik yang sehat itu bukanlah menjejali pikiran calon pembeli dengan informasi yang buruk.
Di sinilah maka empati dan simpati lebih tumbuh di kalangan pihak kedua. Kekuatan yang sejatinya berada di luar lingkaran para pelaku politik praktis. Mereka menjadi kekuatan yang tak terbendung, melahirkan kreativitas dan mampu melahirkan berbagai informasi. Ini bisa terjadi karena manuver politik yang dilakukan adalah manuver yang mencerdaskan, yang membuka pikiran, membuka wawasan, dan kesempatan untuk melihat berbagai hal lebih objektif--tidak direcoki informasi-informasi yang menyesatkan.
Karenanya, saya pribadi melihat inilah pelajaran paling penting dari sikap politik pihak kedua. Politik yang mendewasakan dan mencerdaskan. Politik yang menebarkan aura positif. Mengsahihkan bahwa kekuatan itu tidak semata-mata pada seberapa besar suatu kubu politik, tapi kekuatan itu adalah seberapa mampu hal itu mencerdaskan publik. Toh, jika publik dicerdaskan, maka mereka akan memilih dengan cerdas. Jika pemilih sudah cerdas, sementara pelaku politik sudah melakukan berbagai hal berharga, maka para pemilih cerdas pasti akan memilih yang lebih baik.
Sudut pandang dan karakter politik yang bertarung di Pilpres 2014 khususnya, akhirnya harus diakui meninggalkan banyak hal yang akan selalu menarik untuk diperhatikan, dan memikat untuk didalami. Maka kenapa, di media seperti Kompasiana, misalnya, begitu banyak yang bersedia "mengampanyekan" pihak kedua, sementara mereka sama sekali bukanlah tim sukses atau organisasi terkait. Hal ini menggambarkan bahwa politik yang mencerdaskan itu akan cenderung melahirkan kekuatan yang lebih sejati, dibanding dengan politik yang mengandalkan intrik.
Semoga saja, pertarungan politik tahun ini, menjadi pelajaran penting bagi pelaku politik dan masyarakat luas tentunya, agar di tahun-tahun mendatang, tak ada lagi pandangan-pandangan skeptis terhadap politik. Toh, politik itu bukanlah pengetahuan yang hanya mesti dipahami para pelaku politik. Sebab jika pengetahuan politik hanya menjadi domain pelaku politik, akan cenderung membuat rakyat tak lebih dari korban-korban "pedagang" di pasar politik. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik dalam politik, maka bukan mustahil politik Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang akan melahirkan lebih banyak hal yang lebih konstruktif dan membuat negeri ini lebih terbangun.
Terakhir, hanya guru yang memberi pendidikan sebaik-baiknya yang akan lebih dihargai para muridnya, ketika sebagian guru lainnya akan dikutuk sejarah atas penyesatan yang dilakukannya. (Twitter: @zoelfick)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H