[caption id="attachment_354830" align="aligncenter" width="490" caption="Politik yang mencerdaskan hanya dilakukan politisi yang baik. Informasi yang baik akan memberikan hasil yang baik dalam berpolitik (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]
Setiap fenomena, pada galibnya membawa pesan tersendiri, entah fenomena baik atau bahkan buruk sekalipun. Seperti halnya kemenangan Joko Widodo dan runtuhnya kekuatan rival politiknya, Prabowo Subianto, tak kurang memiliki pesan yang saya kira akan menjadi referensi tersendiri dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia.
Ada fakta yang tak bisa dipungkiri dari politik Indonesia, bahwa rakyat, jauh sebelumnya kerap seperti pembeli ketika pegiat politik cenderung berada di posisi sebagai penjual. Pertama, ada penjual yang berhasil menarik simpati rakyat dengan pola-pola yang mirip hipnotis, sehingga rakyat mengesampingkan logika ketika harus memilih dagangan yang disodorkan padanya.
Di posisi itu, rakyat tak lagi dibiarkan bisa melogikakan, seberapa baik dan seberapa butuhkah dirinya terhadap dagangan itu. Sebab pikiran mereka cenderung dibanjiri dengan berbagai intrik-intrik menyihir, sehingga tak bisa maksimal untuk mempertimbangkan jernih apa-apa yang disodorkan.
Para penjual yang pertama ini, cenderung tak memberi jeda yang memadai untuk calon pembeli untuk melihat secara terbuka dan apa adanya terhadap barang dagangan itu. Semacam ada ketakutan, berbicara jujur kepada pembeli itu hanya akan membuat mereka menjauh.
Maka itu, calon-calon pembeli dijejalkan logika yang sejatinya absurd betapa bagusnya sesuatu yang besar dengan berbagai kelebihan dari "barang berbentuk besar". Sedikit sekali penjelasan, atau bahkan hampir tak ada, bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Melainkan, calon pembeli yang tertarik ke sini hanya tersugesti bahwa truk-truk besar akan lebih mereka butuhkan untuk menyeberangi lautan. Absurd. Tapi hal itulah yang dijejalkan.
Tak ada penjelasan cukup jernih, bahwa kalaupun memang sesuatu yang besar itu memang akan lebih baik jika isi di dalamnya baik dan tidak dipenuhi kuman berbentuk virus atau bakteri. Asalkan besar, entah di sana ada penyakit besar sebagai ancaman, diupayakan untuk tak diketahui calon pembeli.
Syukurnya, faktor "pembeli" di negeri ini tidak lagi hanya calon "korban-korban pasar" bernama politik yang gampang dibius. Dampak positif perkembangan informasi pun mendapatkan tempat. Pada saat para "sales" menjual dagangannya, teknologi informasi menyediakan banyak pilihan yang kompeten untuk mereka menyaring, membandingkan, dan menganalisis: siapa menjual apa, siapa menjual bagaimana, dan siapa bersama siapa.
Pengetahuan itu, ketersediaan informasi memadai, memang menjadi batu sandungan tak sederhana bagi penjual pertama. Bius-bius berupa berbagai propaganda pihak pertama, dari tudingan "asing dan aseng", dari Islam dan non-Islam, dengan berbagai tetek bengek propaganda, menjadi peluru yang dilepas seluruhnya. Tak ada lagi pertimbangan bius dan peluru propaganda itu tepat pada sasaran ataukah tidak. Maka, saat calon pembeli bertemu dengan akses informasi, di sinilah, para penjual tak bisa berbuat banyak.
Satu sisi, inilah keuntungan dari ketersediaan informasi memadai. Upaya-upaya pengibulan massif bisa terhindari. Walaupun masih ada saja yang menjadi korban, termakan jualan, tapi masih lebih banyak yang bersedia melihat dengan jernih, tak menurut begitu saja pada propaganda-propaganda yang diembuskan.
Media-media semisal Kompas, Tempo, Â dan Detik, atau MetroTV di tengah pertarungan "merebut pembeli" di pasar politik tadi, kerap menjadi sasaran kebencian pihak pertama. Dalih mereka, media-media ini hanya merugikan mereka saja. Maka di kalangan sendiri, pihak pertama ini kerap membiuskan pengikutnya, bahwa media-media ini telah dibeli oleh lawan mereka.