[caption id="attachment_358436" align="aligncenter" width="600" caption="Politik adalah alat untuk kepentingan rakyat, bukan alat untuk mengendarai rakyat (Gbr: sigmanews.us)"][/caption]
Keputusan Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, meninggalkan Partai Gerindra adalah sebuah keputusan besar. Tapi, di sinilah, wakil gubernur DKI Jakarta ini sekaligus memberikan pelajaran besar tentang bagaimana berpolitik.
Itulah yang terbersit di benak saya, setelah berita berbagai media diramaikan dengan keputusan mantan bupati Belitung Timur tersebut. Lantaran menyimak, sepanjang Orde Baru berjalan hingga runtuh, dan reformasi bergulir hingga tiba ke fase pasca-reformasi, belum ada yang mengambil langkah berani seperti dilakukan Ahok.
Lihat saja, jika ada beberapa kasus di mana seorang politisi meninggalkan suatu partai, itu kerap kali karena alasan yang berhubungan yang sangat bersifat pribadi---bahwa ada kepentingan pribadi yang tak tertampung lalu mencari kendaraan politik berupa partai lain.
Berbeda dengan Ahok, ia melakukan itu karena sebuah alasan yang sangat jelas: membela hak rakyat yang ingin dirampas oleh segerombolan "Dewan Perwakilan Rakus" yang kebetulan berjubah Dewan Perwakilan Rakyat. Ia membela rakyat lewat tindakannya, menentang "Koalisi Mabuk Parah" yang berbungkus nama yang terkesan nasionalis, Koalisi Merah Putih.
Bagaimana tidak, apa yang telah dilakukan kalangan koalisi itu tak lebih hanya untuk mengusung kepentingan mereka. Terlebih mereka tahu sekali, saat ini di legislatif hingga ke level daerah, mereka lebih perkasa secara jumlah. Kekuatan itu bisa mereka manfaatkan untuk melakukan apa-apa saja yang mereka inginkan ke depan.
Koalisi itu, dalam hemat saya, tak kurang buruk dari separatisme. Kenapa? Karena yang sedang mereka gagas dan 'perjuangkan' itu, bukanlah sebuah koalisi yang benar-benar diadakan untuk bisa menghadirkan sesuatu yang sungguh-sungguh mewakili keinginan rakyat. Melainkan bagaimana caranya menyiapkan strategi yang dengan itu bisa dijadikan senjata--jika mungkin--mengacaukan perjalanan pemerintah baru, agar kelak ada alasan untuk meruntuhkannya, dengan berbagai alasan yang bisa dibuat-buat.
Di sinilah Ahok melawan. Melalui sebuah perlawanan yang dilakukan pada saat yang tepat dan sangat menentukan, sebelum ide yang berangkat dari pikiran sederet politisi labil itu menggurita.
Dengan keputusan Ahok menceraikan Partai Gerindra, maka rakyat akan diajak untuk berpikir, menganalisis, dan memahami lebih baik, "Kenapa Ahok mundur?". Dengan begitu, bagi rakyat yang sebagian besar sudah melihat dan meyakini kebaikan dari kehadiran pemimpin seperti Ahok, akan terbuka pikirannya, bahwa jika sesuatu yang baik meninggalkan suatu tempat, artinya tempat itu bukanlah tempat tepat untuk sesuatu yang baik. Yang berharga tak bisa dipaksakan menyatu dengan yang tidak berharga. Berlian berkilau takkan elok berada di lemari perhiasan yang berdebu dan kotor.
Sebab, yang bagus hanya tepat berada di suatu tempat yang bagus. Sementara tempat yang buruk, hanya tepat diisi oleh sesuatu yang sesuai dengan buruknya tempat itu. Sederhananya, apa yang tepat berada di tubuh berpenyakit kecuali kuman. Sementara yang bukan kuman, jika tak memiliki kekuatan melawan banyaknya kuman-kuman itu, ya "meninggalkan" tubuh berpenyakit itu.
Maka itu, Ahok, di sisi lain bisa dikatakan layaknya imun yang berada dalam tubuh, yang punya potensi membentengi suatu tubuh dari serangan penyakit. Ketika imun itu hilang dari tubuh, maka di sanalah berbagai virus menemukan tempat untuk mendatangkan penyakit. Kelak, tubuh itu hanya bisa menggeliat dan merintih, karena virus-virus atau kuman sudah kian menggerogoti, dan menunggu mati.
Maka itu, keputusan Ahok merupakan pilihan tepat di tengah kegelisahan rakyat, "Kok kian banyak wakil partai daripada wakil rakyat. Kok semakin banyak abdi partai daripada abdi rakyat."
Dari sana saya meyakini sosok Ahok yang memahami sekali, "action speaks louder than words', bahwa tindakan mampu berbicara lebih keras daripada kata-kata. Bahwa, masyarakat akan lebih peduli apa yang ia lakukan daripada ia berbusa-busa seperti segerombolan politisi yang gagal "move on"--meniru istilah remaja.
Ya, saya kira masyarakat bisa melihat dengan jernih alasan Ahok meninggalkan partai yang ingin lebih dipentingkan daripada rakyat. Sementara Ahok, lebih mengimani bahwa rakyat harus lebih dipentingkan daripada partai. Ini paradigma penting yang ditransfer Ahok lewat tindakannya itu. Sekaligus, inilah pendidikan politik penting yang diajarkan oleh tindakannya.
Politik bukanlah alat untuk mempermainkan rakyat, tapi membuka jalan untuk perjalanan rakyat yang ingin dibawa berjalan ke terminal demi terminal yang lebih dekat dengan tujuan: tidak dijajah, tidak dibelenggu, tidak ditipu, tidak dicurangi. Juga untuk menuju tempat di mana di sana rakyat bisa melihat hijaunya ketulusan, dan beningnya embun yang bersahabat dengan matahari. Selain mereka teryakinkan, politik adalah kendaraan untuk kepentingan rakyat, dan politik bukanlah alat untuk membuat rakyat sebagai kendaraan. (TWITTER: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H