[caption id="attachment_361976" align="aligncenter" width="619" caption="Saat peci hanya menjadi penutup borok di dalam kepala segelintir politisi, sebagian rakyat mungkin terkibuli tapi masih banyak rakyat memiliki nurani yang belum mati (Gbr: Beritasatu.com)"][/caption]
Dalam pertarungan, mendefinisikan dengan jelas siapa kawan dan lawan menjadi hal krusial. Lantaran, tanpa definisi yang jelas dalam hal ini, yang terjadi adalah merebaknya musuh dalam selimut. Sementara negeri ini, pada saat ini sedang melawan kebobrokan yang nyatanya memang tidak otomatis berhenti pada saat bergulirnya reformasi lebih dari 15 tahun lalu. Lalu di mana tempat terpantas mendudukkan Koalisi Merah Putih?
Baik, katakanlah Koalisi Merah Putih yang sebelumnya gagal memuluskan langkah Prabowo Subianto ke kursi presiden Republik Indonesia sebagai kawan. Apakah sikap-sikap yang ditunjukkan oleh mereka adalah sikap layaknya kawan bagi rakyatnya? Tegas-tegas saja, tidak!
Sebab ciri satu kekuatan politik yang pantas dikatakan kawan rakyat, adalah mereka yang bersedia berangkat dari empati atas apa yang sebenarnya menjadi kepentingan rakyat dan lebih meyakinkan bahwa mereka memahami benar apa-apa yang menjadi kebutuhan rakyat. Di sini, KMP sama sekali tidak menunjukkan karakter sebagai kekuatan politik yang berangkat dari itu.
Sederhana saja, silakan simak gebrakan yang baru saja dilakukan mereka pada saat mencuatnya ide Pilkada Langsung/Tidak Langsung.
Dalam kasus tersebut, mereka menempatkan rakyat sebagai pihak yang belum cukup dewasa untuk terlibat dan berperan langsung dalam sebagian kegiatan politik. Maka itu mereka mencari berbagai cara yang celakanya justru berhasil, mengangkangi rakyat, dan mengembalikan pemilihan pemimpin daerah lewat DPRD.
Pertanyaan lebih jauh, seberapa berhargakah isi kepala mereka di koalisi tersebut, dan seberapa berkualitas mereka yang menempati gedung DPRD di berbagai daerah?
Apakah mereka terpilih sebagai wakil rakyat, murni karena ide besar yang terdapat di kepala mereka? Tidak. Saya bisa katakan, sembilan dari sepuluh anggota dewan itu mendapatkan kursi karena kekuatan uang yang mereka miliki. Bukan karena kekuatan ide dan gagasan. Jika begitu, apa yang bisa diharapkan dari anggota dewan yang menjadikan uang sebagai "nyawa" mereka, kecuali sekadar menunggu mereka kenyang mengisap darah rakyatnya--termasuk rakyat yang memilih mereka.
Kemudian lagi, jika mengatakan mereka sebagai kawan rakyat, apakah mereka mengambil keputusan seperti baru saja dilakukan belakangan ini karena keinginan rakyat atau konspirasi koalisi yang sakit hati? Maka jawaban paling terang adalah yang kedua.
Siapa yang menampik bahwa seratus persen mereka yang berada di koalisi itu tak lebih dari politisi labil yang mudah kecewa dan sakit hati karena kegagalan mereka di Pilpres? Bagaimana membantah bahwa manuver yang mereka lakukan tak lebih dari usaha untuk membalaskan sakit hati mereka?
Nah, dalam hemat saya, di sinilah koalisi tersebut memasang badan sebagai musuh rakyat. Sebab jelas, apa yang telah dilakukan oleh mereka tak lebih dari kepentingan menjawab 'jeritan' sesama kalangan mereka yang sama-sama sakit hati. Tak terlihat gambaran bahwa mereka bergerak karena menjawab jeritan rakyat, masyarakat yang memang tidak memiliki keleluasaan dan kapasitas untuk melahirkan sebuah kebijakan.
Mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melahirkan sebuah kebijakan, lantas semena-mena melahirkan kebijakan yang berangkat hanya dari aspirasi koalisi mereka saja. Soal bagaimana keinginan rakyat, mereka bisa menutupinya dengan skenario; menurunkan kader-kader militan untuk menunjukkan bahwa rakyat mendukung mereka, dilengkapi dengan beberapa demonstran yang kesulitan mencari pekerjaan dan bersedia untuk dibayar.
Di sinilah mereka mengibuli rakyat. Mereka mementaskan drama, bahwa misi yang sedang mereka jalankan adalah misi yang berangkat dari keinginan menjawab keinginan rakyat. Mereka dengan halus, menutup borok-borok yang berada di kepala dan mulut mereka sendiri. Di sini, hanya masyarakat yang masih memiliki mata nurani menyala saja bisa melihat ulat-ulat di kepala mereka. Hanya rakyat yang memiliki penciuman di dalam nurani saja yang bisa merasakan busuknya aroma mulut para politisi di koalisi tersebut.
Karenanya, sekarang jelas, jika ditanyakan, apakah Koalisi Merah Putih adalah kawan atau lawan? Maka, rakyat yang masih menghargai hak mereka sebagai rakyat, masih sadar bahwa kualitas koalisi tersebut hanya cukup untuk menjawab kepentingan partai dan golongan mereka saja, akan setuju bahwa koalisi itu telah memilih menjadi lawan rakyat!
Ke depan, gebrakan koalisi itu takkan berhenti dengan keberhasilan mereka menggemakan tawa lewat kesuksesan mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Mereka masih memiliki rencana busuk lainnya, yang bisa saja membuat negara ini tersuruk dalam kebusukan. Tanpa perlawanan, mereka bisa menjadi penyakit yang mematikan. Setidaknya, inilah firasat saya sebagai salah seorang rakyat di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H