Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tanda Pagar: Ketakutan Baru Pejabat Publik

30 September 2014   10:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:58 3832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_362677" align="aligncenter" width="640" caption="Saat tanda pagar menjadi cara rakyat bersuara, setelah legislatif kian tak bisa dipercaya - Gbr: MemeTwitter"][/caption]

Selain demonstrasi di bawah terik matahari, berteriak-teriak hingga tenggorokan mengering, belakangan muncul demonstrasi bentuk baru, yang acap dikenal dengan "Tanda Pagar" atau "Hashtag" (#). Konon, demonstrasi di era digital ini mampu merisaukan penguasa, dan bahkan Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, sempat terbetik pikiran untuk menutup Twitter di Indonesia.

Beberapa hari lalu, lewat Twitter pribadi saya, @zoelfick, sempat saya sergah salah satu twit menteri dari Partai Keadilan Sejahtera itu. Lantaran gerah dengan beberapa twit Pak Menteri ini yang menyinggung-nyinggung ide untuk menutup Twitter, karena melihat beberapa negara di bagian Arab, yang sebagian memang sedang dalam situasi kritis.

Dalam sergahan itu, lebih kurang saya katakan, jika memilih referensi untuk merencanakan sebuah kebijakan, maka referensi itu jangan melulu negara-negara yang memang sedang sarat masalah. Saya tambahi juga, bahwa penguasa di negara yang menutup jejaring sosial seperti Twitter, cenderung adalah penguasa yang ketakutan kepada rakyatnya sendiri.

Seperti biasa, twit saya itu hanya di-retweet oleh beberapa orang yang mungkin sependapat dengan saya, atau mungkin juga ingin melihat reaksi dari pengguna Twitter lainnya--hingga ia ikut-ikutan me-retweet cuitan saya itu.

Tapi, itu hanya catatan kecil dari betapa jejaring sosial itu menakutkan bagi sebagian orang, tak peduli yang berpangkat atau bahkan rakyat yang isi dapurnya pun sedang sekarat. Bahwa, di sanalah rakyat di negeri sebesar Indonesia merasa lebih merdeka untuk bersuara, untuk menyampaikan aspirasinya, kepada pejabat publik hingga sosialita.

Belum lama, tanda pagar atau hashtag #ShamedOnYou mencuat sebagai berita, menyusul merebaknya permainan salah satu koalisi berbadan besar di Dewan Perwakilan Rakyat yang masih bernostalgia dengan masa lalu. Merespons anggota legislatif yang kebetulan "memiliki pikiran terbelakang" dan kebijakan salah satu petinggi partai politik yang kini masih menjabat presiden negeri ini, hashtag itu muncul.

Dampaknya, tanda pagar lantas membuat para pejabat publik yang terusik dan mungkin berdebar-debar. Sehingga, sekelas menteri Kominfo, sempat terpikir untuk membentengi tuannya dan koalisi yang di sana terdapat partainya. Sehingga, berembus kabar, pihak Kominfo meminta pihak Twitter menghapus hashtag #ShamedOnYou. Walaupun kebijakan itu tak lantas membuat pengguna Twitter kehabisan akal, lantaran setelahnya bahkan muncul hashtag lain yang berbeda namun bermaksud kurang lebih sama; #ShamedByYou.


"Terkait fenomena hilangnya tanda pagar tersebut, belakangan memang memunculkan banyak spekulasi dan analisis para pakar. Misal saja, Nukman Luthfie, berada di antara yang berpendapat itu kemungkinan terjadi karena adanya algoritma trending topic di Twitter tidak hanya karena kuantitas dari kicauan tertentu. Atau, juga memang mungkin terjadi karena kian berkurangnya pengguna Twitter yang mencuitkan hashtag tersebut."

***

Ada kesan, apalah arti demokrasi jika itu hanya membuat rakyat kian berani dan bahkan menjadi lancang. Rakyat tidak lagi menghargai pejabat publik, dan tidak lagi menghormati pejabat negara.

Sepertinya para pejabat publik penganut pikiran seperti itu, berpikir bahwa sikap menghargai dan penghormatan dari rakyatnya akan diberikan secara gratis hanya karena kebetulan mereka sedang berkuasa. Mereka lupa, ada harga yang harus dibayar untuk penghargaan dari rakyatnya.

Untuk para pejabat yang hanya cerdas menjilat dan lupa mengenali seperti apa sikap merakyat, apa alasan bagi rakyat untuk mengakui mereka sebagai orang-orang terhormat? Tidak ada.

Toh, sederhana saja. Siapa saja dihormati, ya karena memang orang yang dihormati ini melakukan hal-hal terhormat. Para pejabat dihargai, bukan karena mahalnya harga yang harus mereka bayar untuk mendapatkan sebuah tempat di kekuasaan, melainkan sejauh mana berharganya tindakan-tindakan mereka di depan rakyat.

Para pemulung saja tahu, apa saja yang tidak berharga, memang tak pantas untuk dituntut untuk mendapatkan harga setinggi-tingginya. Entah penguasa itu memiliki kualitas pikiran di bawah pemulung, entahlah.

Tapi, lagi-lagi, fenomena tanda pagar itu memang menunjukkan hal-hal ironis seperti itu.

Di dunia jejaring sosial, pejabat yang seolah-olah saleh, tak bisa terkekeh-kekeh jika nekat bertindak aneh-aneh. Pertarungan sekaligus polemik soal RUU Pilkada sudah menunjukkan itu. Bahwa, rakyat bisa melawan, meski mereka menyuarakan perlawanan itu lewat Twitter seraya menghirup secangkir teh, tapi kuasa membuat pejabat tak lagi leluasa untuk terkekeh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun