Aji tak berhenti, meski ia hanya bekerja dengan berbekal satu tangan saja (Gbr: AtjehPost)
Namanya sangat sederhana, Aji. Kini dia merupakan seorang wartawan di salah satu media online kenamaan di Aceh, ATJEHPOST.co. Dia juga berpembawaan sangat sederhana, memiliki senyum tak pernah lepas dari wajahnya, tapi ia memiliki kegigihan yang tak sederhana. Walaupun ia bekerja hanya dengan satu tangan, yang kebetulan hanya tersisa di bagian kanan, tapi kegesitannya tak kalah dengan jurnalis bertubuh sempurna.
Aji berasal dari kawasan Nagan Raya, salah satu kabupaten di Aceh. Sejak kecil ia terbiasa menjalani hidup keras, dan tidak terbiasa dimanja oleh orang tuanya. Kelincahannya di masa kecil juga yang membuat tangan kirinya harus diamputasi. Sebuah tragedi yang memang berpengaruh hingga ia dewasa.
Saya mengenalnya sejak masih sama-sama kuliah. Ketika saya mengambil pendidikan di Bahasa Inggris IAIN Ar-Raniry, ia menempuh pendidikan di Universitas Serambi Mekkah. Tapi saya dengannya sering bersua, untuk berdiskusi, mengikuti gerakan mahasiswa, hingga terjun ke masyarakat sebagai pegiat sosial.
Ia memiliki karakter yang luwes, bersahaja, dan mudah akrab dengan siapa saja. Selain, dia juga memiliki kepribadian dan karakter yang peka terhadap berbagai situasi sosial.
Pada saat saya dengannya masih sering bertemu di Aceh, ia kerap berbicara banyak hal tentang dunia pendidikan hingga masalah-masalah sosial. Kepekaan jiwanya sangat kental terasa bagi siapapun yang bersahabat dengannya. Apalagi dia sendiri memang telah menyaksikan dan merasakan banyaknya potret ironi di sekelilingnya di Aceh.
Apa yang dia lakukan dalam melihat berbagai masalah sosial itu? Mirip dengan yang saya lakukan, aktif menghadiri berbagai diskusi dan seminar, hingga melakukan berbagai macam aksi. Dari terjun langsung ke masyarakat yang membutuhkan, hingga berdemonstrasi.
Paling tidak, dalam keterbatasannya secara fisik, tapi ia memiliki kepedulian yang tak terbatas. Bagi dia, atas semua masalah sosial yang ditemuinya, maka yang harus dilakukan adalah menunjukkan kepedulian. Pada saat yang bertangan sempurna saja tak semua memiliki kepedulian sempurna terhadap sesama, Aji terus berusaha melakukan apa saja secara sempurna.
Bagi pria yang kini berusia kepala tiga ini, keterbatasan secara fisik bukanlah pagar pembatas untuk bisa melakukan apa-apa yang bisa dilakukan. Ia masih membuktikan komitmennya itu. Untuk pengabdiannya, ia tak pernah mengeluh sekalipun tak jarang ia berjalan kaki puluhan kilometer.
Hingga belakangan ini ia bergiat di dunia media. Sedikit yang membedakan saya dengannya hanyalah karena dia bekerja di media daerah, dan saya di media nasional. Meski begitu, saya tetap melihat dia berada di atas diri saya karena dedikasi tingginya itu.
Dari sosok Aji tersebut saya belajar banyak, bagaimana agar saat satu tangan hilang, yang dibutuhkan bukanlah meratapi tangan yang sudah tak ada lagi itu. Melainkan melihat bahwa Tuhan masih menyisakan satu tangan untuk dirinya. Sudut pandang dirinya itu, yang saya perhatikan, maka sekarang ia masih terus aktif bekerja untuk masyarakat.
Ia memilih pekerjaan sebagai jurnalis, lantaran--saya yakini--panggilan jiwanya sebagai seorang yang memiliki kepekaan terhadap berbagai masalah sosial. Ia meyakini bahwa profesi ini akan membantunya untuk bisa melakukan banyak hal. Aji bisa membicarakan keadaan masyarakatnya di Aceh yang banyak ketimpangan di mana-mana.
Apakah perjalanan kariernya berjalan mulus? Memang tidak, karena tak jarang ia harus berpindah-pindah pekerjaan. Tapi bagi dia tak pernah ada kata berhenti, kecuali jika kelak sudah mati. Ya, tekad Aji adalah baja yang tak mudah patah.
Baru-baru ini, dalam perjalanan dirinya sebagai seorang jurnalis, ia bahkan mengalami perlakuan buruk oleh salah seorang satpam di Meuligoe--kediaman gubernur Aceh. Meski ia berprofesi sebagai jurnalis, tapi penjaga keamanan di tempat elite tersebut melihat dirinya layaknya pengemis. Ia dihardik dan diusir. Sekalipun ia sudah berusaha untuk membela dirinya, dan bahkan sudah menunjukkan surat tugas dari redaksi ATJEHPOST.co, namun tak digubris oleh penjaga keamanan tersebut.
Sontak sikap satpam Meuligoe terhadap dirinya menjadi perbincangan di Aceh. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia Banda Aceh turut bicara dan menyorot perlakuan semena-mena terhadap Aji. Hingga anggota legislatif pun menyorot persoalan tersebut, selain, tentu saja pihak media sendiri.
Kejadian itu, dihardik dan diusir memang hal yang menyakitkan bagi dirinya. Ia merasa dilecehkan. Tapi Aji bukanlah seorang sosok yang mudah patah. Meski saya mengenalnya sebagai pria yang memiliki perasaan yang halus, tapi dari sisi mentalnya sebagai lelaki, ia takkan kalah dengan siapa saja yang memiliki tangan sempurna.
Kejadian buruk yang baru-baru ini dialami, di sisi lain juga memperlihatkan kepadanya, di balik orang-orang yang kurang menghargai keterbatasannya, masih sangat banyak yang peduli kepada dirinya dan menghargai sosoknya. Dia adalah satu dari sedikit wartawan yang memiliki cacat fisik, tapi tak memiliki cacat dari sisi mentalnya.
Meski kini, di media tempat ia bekerja, dirinya belumlah menjadi wartawan tetap lantaran baru bergabung dan masih menyandang status magang--selama tiga bulan--tapi dengan ketangguhannya, saya percaya kelak ia bisa menyuarakan lebih banyak hal tentang berbagai masalah di masyarakat sekelilingnya, menjadi bagian penyelesai masalah. Ia masih memiliki dedikasi besar untuk itu. Semoga ia tak pernah berhenti, dengan satu tangannya itu untuk bisa melakukan banyak hal untuk "tanoeh endatu" yang dari dulu sangat dicintainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H