[caption id="attachment_365057" align="aligncenter" width="624" caption="Gbr: KOMPAS.com"][/caption]
Di tengah gonjang-ganjing politik, topik ekonomi cenderung tak terlalu dilirik. Setidaknya itulah yang saya simak, sepanjang memantau timeline jejaring sosial, baik facebook maupun twitter. Di mana-mana topik politik dirasa jauh lebih menarik, saat situasi ekonomi di banyak negara nyaris membuat banyak penguasa tak berkutik. Lalu, bagaimana kedua hal itu kemudian memang saling pengaruh-mempengaruhi?
Tak banyak yang melirik, Rabu (8/10), di Milan sedang berlangsung pertemuan para pucuk pimpinan negara-negara kawasan Euro. Italia, Prancis, Jerman, berada di antara negara Eropa yang hadir dalam pertemuan itu. Masalah yang dibincangkan lagi-lagi masalah "asap dapur" negara masing-masing.
Berita tersebut tak pelak membuat saya tercenung, betapa "urusan dapur" bukanlah masalah sederhana. Maka tak bisa hanya mengandalkan untuk menyikapinya secara sederhana.
Ya dalam pertemuan itu, Matteo Renci yang merupakan Perdana Menteri Italia mengemukakan rencananya mempromosikan undang-undang tenaga kerja yang baru dirampungkan. Sementara dari Prancis, Francois Hollande sebagai presiden negara itu mencetuskan idenya untuk melakukan ekspansi belanja negara.
Terdapat selisih pendapat antara para tokoh negara-negara Eropa itu, tak terkecuali dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Maklum, pihak Bank Sentral Eropa yang sudah memberikan kelonggaran dalam kebijakan keuangan di Eropa, tapi justru merasakan adanya semacam bumerang. Presiden Bank Sentral Eropa saja, Mario Draghi, tak bisa menghindari dirinya dari perasaan tertekan. Maka kemudian langkah yang diambil otoritas lembaga keuangan Eropa itu menyorot soal pasar tenaga kerja.
Ya, Presiden Bank Sentral Eropa mengajak para politisi untuk melonggarkan aturan di pasar tenaga kerja yang dinilai jauh dari fleksibel.
Dari sana juga saya menemukan fakta, bahwa sebanyak 18 negara yang bergabung dalam kawasan euro, masih sedang bertarung mati-matian memulihkan kondisi ekonomi akibat beban utang negara yang sangat tinggi seusai masa krisis yang mendera mereka. Apalagi telah jamak diketahui, pertumbuhan ekonomi di sana praktis terhenti, hingga inflasi berada di titik nadir per lima tahun terakhir.
Apa yang dilakukan Eropa menyikapi itu? KTT Milan adalah pertemuan yang mengulas secara mendalam tentang kondisi faktual tersebut. Tak berhenti di situ, tapi mereka pun membahas berbagai hal yang berhubungan dengan bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan, terutama yang disebut sebagai "Kawasan Euro". Persoalan pengangguran pemuda menjadi fokus. Lantaran terdapat fakta yang terkena dampak dan juga membawa dampak secara sekaligus pada ekonomi kawasan itu. Bahwa, tak kurang dari 21,6 persen pemuda kawasan tersebut dengan usia di bawah 25 tahun di seluruh Eropa terjerat oleh masalah pengangguran.
Lagi-lagi urusan ekonomi memaksa para petinggi negara-negara yang konon berada di jajaran "negara maju" itu gelisah.
Bagaimana Indonesia?