[caption id="attachment_366994" align="aligncenter" width="624" caption="Rekonsiliasi itu sudah pernah diusahakan secara halus oleh Presiden SBY dengan mengundang Prabowo dan Jokowi buka bersama saat Ramadan lalu. Kini? (Gbr: KOMPAS.com)"][/caption]
Selama sepekan terakhir, media disesaki berita terkait tanda tanya publik, akah hadirkah atau tidak sosok Prabowo Subianto saat pelantikan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia. Jawaban memang terketemukan, tapi bukan kepastian. Lantaran yang mengonfirmasi pertanyaan tersebut bukanlah sosok Prabowo sendiri, melainkan kaki tangannya yang selama ini menjadi pasukan dalam pertarungan politiknya.
Ahmad Muzani sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Fadli Zon yang merupakan Wakil Ketua Umum Gerindra, dan Hatta Rajasa sebagai Calon Wakil Presiden pada Pemilihan Presiden 2014 yang mendampingi Prabowo, menjadi narasumber yang memberikan jawaban atas tanda tanya tersebut.
Meski mereka menjawab, tapi sama sekali bukan jawaban. Lantaran figur-figur tersebut sama sekali tak bisa memastikan sosok "big boss" mereka akan menghadiri acara itu. Meski jika menyimak kedekatan mereka dengan orang nomor satu di partai politik yang berdiri pada 6 Februari 2008 itu, rasanya sulit dipahami bahwa mereka tidak tahu menahu kemungkinan Prabowo akan hadir atau tidak.
Mau tidak mau, publik yang mengikuti perkembangan politik, sedikitnya akan bertanya-tanya dan bukan tak mungkin terseret untuk menduga-duga akan hadirkah ia ataukah tidak. Tapi pertanyaan seberapa penting kehadiran rival Jokowi di Pilpres 2014 itu, juga akan mengikuti rentetan pertanyaan itu.
Bagi publik yang cenderung netral, dipastikan akan mengapresiasi kedatangannya. Ia pasti akan dipuji sebagai sosok yang berjiwa besar jika kemudian ia benar-benar memutuskan tidak tenggelam dalam kekecewaan akibat kekalahan di Pilpres, sekalipun dalam pertarungan itu ia sudah didera kerugian tidak sedikit. Maklum menjadi kontestan Pilkada saja bisa menghabiskan biaya miliaran, apatah lagi untuk pertarungan di level Pilpres.
Selebihnya, dengan kehadirannya juga bisa membuka keran rekonsiliasi, memulihkan hubungan yang sempat merenggang lantaran pertarungan di Pilpres. Bahwa ia benar-benar memiliki iktikad baik, membuktikan ke dalam sikap, persatuan rakyat negeri ini jauh lebih penting dibandingkan dengan meratapi kegagalan. Apalagi bisa dipastikan, efek Pilpres 2014 dimafhumi sekali oleh sosok Prabowo sebagai kontestan, munculnya kubu-kubuan di kalangan rakyat, antara yang pro dirinya dengan yang kontra.
Kubu-kubuan itu tidak berhenti seiring selesainya Pilpres itu sendiri. Apalagi memang hingga Mahkamah Konstitusi sudah mengetuk palu yang memenangkan Jokowi pun, kubu-kubuan itu masih ada, dan masih terus ada hingga kini. Katakanlah hal ini juga ada di level legislatif, berdasarkan kursi partai yang menentukan kekuatan parlemen, masih bisa dimaklumi jika masing-masing membangun koalisi. Tapi hal itu akan menjadi bibit perpecahan yang fatal ketika terjadi blok-blok yang cenderung radikal di level masyarakat.
Blok-blok tersebut berpotensi menyulut sumbu pertikaian di kalangan masyarakat selama mereka tidak dijembatani lewat semacam rekonsiliasi. Terbayang bagaimana risiko yang terlalu besar yang bisa saja terjadi pada saat massa sudah tidak terkendali.
Nah, sementara sebelum risiko itu benar-benar terjadi, masing-masing pihak masih berpeluang untuk menyatukan pendukung masing-masing. Jokowi sendiri sudah mengawalinya saat ia sudah diputuskan sebagai pemenang oleh MK, bahwa tak ada lagi satu atau dua, melainkan "tiga" yang merujuk ke sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Pertanyaannya lagi-lagi, akan berani tidak sosok Prabowo untuk juga bersedia melepaskan massa pendukungnya untuk tidak lagi terikat dengan blok-blok tadi. Agar pengikutnya, seiring selesainya Pilpres dan serentetan upaya setelahnya, bersedia kembali untuk melihat diri mereka sebagai bangsa.