Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Eks Petinggi GAM Soal Pemerintahan Jokowi

20 Oktober 2014   14:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 6504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, Nur Djuli juga berpandangan bahwa sosok Jokowi sebagai figur yang pro-desentralisasi. Maka menurutnya, Aceh harus bijak mengambil kesempatan dalam hal ini. Tak terkecuali dalam misi Jokowi yang berkait dengan ranah maritim.

"Aceh harus mendukung program andalan Jokowi. Termasuk misal dalam pembelian kapal yang menghubungi Aceh dengan dengan Papua melalui beberapa stop over. "Jadi mendukung program 'Jalan Tol Laut'-nya Jokowi, maka Aceh bisa memasarkan kopi ke Papua--misalnya--dan mendatangkan kayu dari sana agar penebangan kayu di Aceh bisa dikurangi," Nur Djuli melanjutkan.

Hal lain yang juga dikemukakan adalah keberlanjutan proses reintegrasi Aceh secara betul yang sejalan dengan guidelines dari PBB. Ini, menurut dia, tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika tidak dikelola secara profesional maka bukan tak mungkin akan ada pihak-pihak yang justru akan menjadi program tersebut sebagai "ATM" bagi mereka.

Ya, secara garis besar, Aceh memiliki ekspektasi terhadap kehadiran Jokowi sebagai presiden. Lantaran, menurut hemat saya pribadi, sepanjang sejarah Indonesia berdiri, masalah integrasi di negeri ini cenderung tidak terjalin karena benar-benar lahir dari penerimaan yang utuh.

Sebut saja dengan Aceh sendiri, sejak Soekarno masih berkuasa, telah menggeliat karena adanya kebijakan-kebijakan yang cenderung "top down". Daerah cenderung hanya sebagai pemikul keinginan pusat, hanya melaksanakan apa-apa yang digariskan pusat. Sementara dalam hal sejauh mana pusat memetakan persoalan yang terdapat di daerah, relatif dinafikan.

Tak heran, egoisme pusat yang memosisikan diri sebagai elemen pemerintah di kasta teratas, kerap membuat gerah mereka di daerah hingga memutuskan melakukan berbagai hal sebagai bentuk perlawanan. Tak jarang, seperti halnya yang muncul di Aceh, perlawanan itu berlangsung lewat kekerasan yang direspons lagi oleh pusat dengan kekerasan. Sehingga perjalanan relasi pusat-daerah kerap identik dengan kekerasan yang cenderung mengarah ke pemaksaan.

Jangan lupa, persoalan relasi daerah dengan pusat, secara bahasa sederhana, saya kira tak keliru jika dianalogikan laiknya pernikahan. Sebuah pernikahan yang lahir karena keterpaksaan, cepat atau lambat akan berujung perceraian yang menyakitkan, salah satu atau kedua pihak. Maka kini yang diperlukan itu adalah, bagaimana "menikahkan" pusat dan daerah benar-benar berlandaskan pada cinta. Di sini yang dibutuhkan adalah sejauh mana pusat, di bawah Jokowi sebagai presiden ketujuh Indonesia, mampu mengikat daerah dengan pusat dengan tali ikatan yang lebih tulus.

Atau, jika diumpamakan integrasi daerah dan pusat sebagai pertemanan, bagaimana pemerintah bisa menunjukkan "good will" bahwa sebagai teman maka harus mampu menunjukkan sikap yang cenderung egaliter. Bukan sebagai atasan kepada bawahan, atau yang kuat yang bisa pongah terhadap yang lemah, yang berkekuatan militer dengan tidak. Melainkan lebih ke relasi yang berbasis empati, apa sajakah yang dibutuhkan oleh seorang teman setelah sang teman tersebut selama ini pun turut menyumbang "menghidupi" temannya di pusat. Semoga (Twitter: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun