[caption id="attachment_367657" align="aligncenter" width="556" caption="Aktor perdamaian Aceh, Nur Djuli, bersama Noam Chomsky (Gbr: Nur Djuli)"][/caption]
Hanya berselang dua hari menjelang pelantikan Joko Widodo  sebagai presiden, saya menghubungi kalangan eks Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. Terutama yang terlibat langsung dengan perjanjian damai RI-GAM pada 2005 lalu di Helsinki, Finlandia. Adalah Nur Djuli, sosok yang saya hubungi tersebut, dengan menyodorkan pertanyaan kepadanya, apa ekspektasi Aceh kepada presiden terpilih setelah ia terlantik nantinya?
Pertama saya tegaskan, apapun tanggapan beliau, akan saya jadikan rujukan dalam artikel saya di Kompasiana. Beliau mengiyakan. Kenapa beliau sebagai acuan yang saya hubungi? Lagi-lagi karena beliau adalah tokoh yang terlibat langsung dalam proses negosiasi yang lumayan panjang untuk perdamaian Aceh, setelah puluhan tahun daerah tersebut berada dalam konflik dengan pemerintah RI.
Tidak itu saja, sosok Nur Djuli juga merupakan figur yang memimpin langsung Badan Reintegrasi Aceh (BRA), menyusul tercapainya perjanjian damai Helsinki.
Selain itu, Nur Djuli juga kerap menjadi referensi banyak penulis yang membincangkan persoalan politik Indonesia dan juga Aceh. Sebut saja, misalnya, Harold A. Crouch, yang menulis buku bertitel Political Reform in Indonesia After Soeharto, pun menjadikan negosiator GAM tersebut sebagai salah satu sumber rujukan. Tak terkecuali buku Aceh: History, Politic, and Culture oleh Arndt Graf, et.al  juga merujuk kepada pikiran-pikiran tokoh asal Bireuen, Aceh ini, salah satunya. Atau, Separatis Conflict in Indonesia, The Long Distance Politics of The Acehnese Diaspora, Antje Missbach, lagi-lagi menjadikan Nur Djuli sebagai salah satu sumber.
Lalu, apa kata beliau? Bahwa soal perdamaian Aceh, atau secara lebih luas, berjalan tidaknya Memorandum of Understanding di Helsinki tak lagi hanya terpaku pada pemerintah pusat. "Berjalan tidaknya MoU Helsinki lebih banyak terletak pada pemerintah Aceh sendiri daripada Pemerintah Pusat," kata Djuli, kepada saya.
Ya, dalam obrolan saya dengan Nur Djuli, ia cenderung memosisikan dirinya di tengah. Tidak semata-mata sebagai orang Aceh yang pernah mewakili GAM, melainkan juga sebagai bagian rakyat di Indonesia, dalam melihat pemerintahan baru di negaranya.
Menurutnya, jika Pemerintah Aceh plin-plan dan tidak tegas, hanya melakukan kompromi-kompromi untuk kepentingan jangka pendek grup (kelompok sendiri, mudah dipermainkan kelompok-kelompok berkepentingan, maka MoU Helsinki lama-lama akan terhapus.
Nur Djuli berpendapat, dalam hal itu, Pemerintah Aceh tak perlu merengek ke Jakarta, tapi tegas menuntut dilaksanakannya klausul-klausul krusial dalam MoU. Tapi ia juga mengingatkan, UU tersebut jangan sekali-kali lari dari MoU.
"UU-PA harus sesuai dengan MoU, yang tidak sesuai harus diamandemen," ia menambahkan lebih lanjut. "Tuntutan-tuntutan Aceh tidak akan digubris kalau Pemerintah Aceh, eksekutif dan legislatif, tidak tegas dan berani untuk bahkan memboikot Jakarta jika Jakarta tidak bersedia melaksanakan MoU sebaik-baiknya."
Masih berkaitan dengan hal itu juga, eks petinggi GAM ini juga menyebutkan bahwa ada hal yang membuatnya optimistis, bahwa karena di pemerintahan Jokowi terdapat Jusuf Kalla yang paling mengetahui seluk beluk MoU Helsinki tersebut.