[caption id="attachment_367994" align="aligncenter" width="700" caption="Persoalan gejolak daerah telah terjadi sepanjang usia negeri ini (Gbr: ciputranews)"][/caption]
Di antara daerah yang masih bisa dipastikan paling rentan dengan konflik dalam relasi dengan pemerintah pusat hanya dua, Aceh dan Papua. Jika di Aceh pernah terdapat Gerakan Aceh Merdeka yang bubar seiring perjanjian damai di Helsinki pada 2005, sementara di Papua masih terdapat Organisasi Papua Merdeka. Lalu, akan bagaimana cerita selanjutnya dua daerah itu di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla? Juga akan seperti apa perkembangan dua kawasan terujung Indonesia itu sendiri bersama pemerintahan baru ini?
Pertama soal Aceh, dalam hemat saya tercapainya perjanjian Helsinki saat Jusuf Kalla masih berduet dengan Susilo Bambang Yudhoyono belum tuntas. Masih banyak riak yang muncul secara silih berganti di sana. Berbagai perdebatan yang rentan menjadi sumbu konflik, juga masih kerap terlihat.
Hal itu juga tak lepas dari soal UU Pemerintahan Aceh dan berbagai polemik yang berada di lingkaran persoalan ini. Di Aceh masih riuh dengan topik ini. Masih ada perbedaan sudut pandang antara apa yang selama ini diperlihatkan pemerintah pusat dengan tafsir yang digunakan oleh sementara pihak di Aceh.
Misal saja, soal bendera Aceh, hingga saat tulisan ini saya tulis, masih menjadi isu yang paling menonjol di daerah yang berada di ujung Sumatra itu.
Masalah tersebut sudah digemakan kembali oleh Pemerintah Aceh yang notabene berasal dari eks GAM hingga menjelang SBY Â menghabiskan periode kedua kepemimpinannya. Agustus lalu, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sempat mengajukan lagi kepada SBY untuk penyelesaian masalah ini. Bahkan tak kurang dari sepuluh pertemuan sudah dilakukan, sama sekali tak membuahkan hasil.
Pemerintah Pusat di masa SBY menolak hal itu lantaran menilai bendera tersebut mirip dengan bendera yang pernah menjadi simbol GAM sendiri. Terlepas bahwa DPR Aceh sudah menyetujui bendera itu pada Maret tahun lalu. Tapi bagaimana solusi setelah penolakan itu, cenderung mengambang begitu saja.
Ya, katakanlah pemerintah pusat juga menunjukkan iktikad baik--di masa SBY. Paling tidak, sudah pernah terbentuk tim bersama untuk membicarakan masalah ini pada 2013 lalu. Lantaran, dalam Undang-Undang Nomor 11 2006, yang dikenal dengan UU Pemerintahan Aceh, bahwa semua aturan turunan harus diselesaikan. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan itu, Â berisi soal kewenangan pemerintah secara nasional di Aceh, di antaranya.Selain juga masalah yang berhubungan dengan pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di wilayah yang menjadi wewenang Aceh. Juga beberapa lainnya yang berkaitan dengan masalah pengalihan kantor wilayah badan pertanahan nasional di Aceh.
Khusus terkait dengan Perda (Aceh: Qanun) pemerintah pusat hanya menyodorkan PP Nomor 77 Tahun 2007 Pasal 6 Ayat 4, bahwa desain logo dan bendera daerah tidak dibolehkan memiliki kesamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau separatis.
Tidak berhenti di situ, RPP Migas yang memiliki hubungan dengan masalah bagi hasil antara pusat dan daerah pun belum mendapatkan kesepakatan. Pusat memaksakan kehendak agar Pemerintah Aceh diperkenankan mengelola minyak hingga 12 mil. Di sini Pemerintah Aceh menuntut hingga 200 mil.
Kemudian dalam masalah pertanahan, Aceh meminta lebih dari sekadar hak guna bangunan dan hak guna usaha. Hal itu pernah diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri di bawah pemerintahan SBY, Gamawan Fauzi. Menteri ini juga mengaku sudah pernah menyampaikannya ke presiden, dan presiden yang akan memutuskan.